Rabu, 18 Maret 2009

Sosialisasi politik dalam keperawatan

Surakarta, CyberNews. Seluruh rumah sakit dan tenaga medis di Indonesia harus mengikut Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan. Rencananya pemberlakuan indikator itu akan dimulai secara resmi pada pertengahan 2009. Hal tersebut dinilai penting karena kualitas tenaga medis memiliki andil hinga 80 persen untuk kesembuhan pasien.

Seperti disampaikan Direktur Bina Pelayanan Keperawatan Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Ilham Setyo Budi SKP MKes di sela-sela seminar nasional Asuhan Keperawatan Pasien TB HIV Terkini, Sabtu (28/3). Seminar yang digelar Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta itu merupakan rangkaian peringatan Hari TB Sedunia.

"Ada banyak factor yang mendukung kesembuhan pasiennya. Misalnya kondisi ketika dia dibawa ke RS, penanganan tenaga medis dan kesiapan alat. Nah tenaga medis ini bisa mempengaruhi 80 persen kesembuhan pasien. Sehingga dari sisi pelayanan keperawatan juga butuh indikator."

Ilham menjelaskan ada enam poin yang menjadi indikator standar pelayanan keperawatan bagi pasien. Yaitu keamanan, kenyamanan,bebas dari kecemasan, kepuasan, perawatan diri serta pendidikan kesehatan dan informasi kepada pasien.

"Selama ini masing-masing unit pelayanan kesehatan punya indikator pelayanan Memang tidak ada yang salah, hanya saja seharusnya ada standar baku yang disepakati secara nasional. Setelah dibahas bersama akhirnya kami tentukan enam poin itu," ungkap Ilham.

Sebagai langkah awal, indikator tersebut sudah diterapkan sebagai uji coba di 19 RS vertical di sembilan propinsi. Antara lain, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. "Nanti saat peluncuran secara nasional akan kami undang seluruh kepala Dinas Kesehatan tingkat propinsi, pimpinan RS vertikal, RS propinsi dan RS khusus. Itu dilaksanakan sekitar Juni atau Juli. Sekaligus untuk sosialisasi ke bawah kami minta masing-masing daerah melakukannya", jelasnya.

Pihaknya mengatakan sampai saat ini masih melihat sebanyak 40 persen perawat belum melaksanakan standar mutu pelayanan tersebut. Ilham mengakui hal tersebut salah satunya disebabkan minimnya tenaga perawat yang tersedia. Dijelaskannya, rasio ideal antara jumlah bed perawatan dengan perawat adalah 1:3. Sementara dalam prakteknya saat ini baru terpenuhi rasio 1:1.

"Di Indonesia seorang perawat selain menjadi kepanjangan tangan dokter,juga mendapat beban tugas administrasi dan rumah tangga. Memang diakui jumlah perawat masih minim,rasionya belum ideal," imbuhnya. Dia juga menyebutkan, selain untuk mendukung kesembuhan pasien, indikator tersebut juga merupakan bagian dari bisnis jasa yang membutuhkan pelayanan prima sebagai andalannya.

Komunikasi politik, power, dan authority

KOMUNIKASI POLITIK
Suatu proses dan kegiatan2 mmbentuk sikap dan perilaku politik yg terintegrasi ke dlm suatu sist politik dg mggunakan seperangkat simbol2 yg berarti melibatkan pesan-pesan poltik dan aktor2 politik atau brkaitan dg kekuasaan, pmerintahan, dan kebijakan pemerintah.

PROSES KOMUNIKASI POLITIK
  1. Komunikator/ sender/ sumber = Pengirim pesan

Encoding : Proses penyusunan ide menjadi simbol/pesan

  1. Message = Pesan

  2. Media = Saluran

Decoding - Proses pemecahan/ penerjemahan simbol-simbol

  1. Feed back = Umpan balik/ respon

  2. Komunikan (receiver)/ pendengar (audiens) = Penerima pesan


KOMUNIKATOR POLITIK (SUMBER

Komunikator utama adalah para pemimpin politik atau pejabat pemerintah karena merekalah yang aktif menciptakan pesan politik untuk kepentingan politis mereka. Mereka adalah pols, yakni politisi yang hidupnya dari manipulasi komunikasi, dan vols, yakni warganegara yang aktif dalam politik secara part timer ataupun sukarela.

Komunikator Politik terdiri dari tiga kategori: Politisi, Profesional, dan Aktivis.

  1. Politisi adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, seperti aktivis parpol, anggota parlemen, menteri, dsb.;

  2. Profesional adalah orang yang menjadikan komunikasi sebagai nafkah pencahariannya, baik di dalam maupun di luar politik, yang muncul akibat revolusi komunikasi: munculnya media massa lintas batas dan perkembangan sporadis media khusus (majalah internal, radio siaran, dsb.) yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Terdiri dari jurnalis (wartawan, penulis) dan promotor (humas, jurubicara, jurukampanye, dsb.).

  3. Aktivis –

  • Jurubicara (spokesman) bagi kepentingan terorganisasi, tidak memegang atau mencita-citakan jabatan pemerintahan, juga bukan profesional dalam komunikasi. Perannya mirip jurnalis.
  • Pemuka pendapat (opinion leader) –orang yang sering dimintai petunjuk dan informasi oleh masyarakat; meneruskan informasi politik dari media massa kepada masyarakat. Misalnya tokoh informal masyarakat kharismatis, atau siapa pun yang dipercaya publik.

MESSAGE (PESAN)

Pesan komunikasi merupakan produk penguasa atau lembaga kekuasaan setelah melalui proses encoding (proses penyusunan ide menjadi simbol atau pesan) atau setelah diformulasikan kedalam simbol-simbol yang sesuai dengan kapasitas sasaran.

Instrumen komunikasi yang meliputi :

  1. Lambang
    Pembicaraan politik adalah kegiatan simbiotik. Kegiatan ini dapat berupa,

  • pembicaraan otoritas dilambangkan oleh konstitusi, hukum.
  • pembicaraan kekuasaan dilambangkan oleh Parade Militer.
  • Pembicaraan pengaruh dilambangkan oleh Mimbar partai, Slogan, Pidato, editorial.

  1. Bahasa

Bahasa dalam komunikasi politik merupakan suatu sarana yang sangat penting yang memiliki fungsi sebagai “cover” bagi isi pesan (content message) yang akan disampaikan oleh komunikator kepada komunikan sehingga pesan tersebut memiliki daya tarik (interest) serta mudah diterima oleh komunikan (masyarakat).

  1. Opini Publik (Pendapat Umum)

Pesan (message) yang disampaikan oleh komunikator politik dilakukan dengan memperhatikan secara seksama pendapat umum atau pendapat yang berkembang dalam realitas keidupan masyarakat yang ada dan mengemuka melalui media massa cetak, audio, maupun audio visual serta media komunikasi langsung yang berasal dari elemen infrastruktur politik yang mengartikulasi kepentingan masyarakat luas, baik melalui media dialog, diskusi, konsep pemikiran maupun orasi di lapangan (demonstrasi). Semuanya ditujukan untuk memelihara harmonisasi komunikasi antara komunikator politik dengan komunikan atau khalayak (masyarakat).


MEDIA KOMUNIKASI (SALURAN)

Media komunikasi sebagai alat transformasi pesan-pesan komunikasi dari penguasa kepada masyarakat. Media komunikasi menjadi pusat perhatian penguasa sebagai alat untuk mendapat legitimasi rakyat di dalam memperkuat kedudukan penguasa melalui informasi- informasi yang disampaikan.

Tipe-tipe saluran kominikasi politik yang dimaksud meliputi:

  1. Komunikasi massa

Adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator politik kepada komunikan (khalayak) melalui media komunikasi massa, seperti surat kabar, radio, televisi.

  1. Komunikasi Interpersonal

Adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator kepada komunikan (khalayak) secara langsung atau tatap muka (face to face). Contohnya dialog, lobby, komfrensi tingkat tinggi (KTT), temui publik, rapat umum, konfrensi pers, dan lain-lain.

  1. Komunikasi Organisasi

Adalah proses penyampaian pesan (message) oleh komunikator politk kepada komunikan (khalayak) atau komunikasi vertikal (dari atas ke bawah) dan horizontal (dari kiri ke kanan) sejajar. Contohnya komunikasi antar sesama atasan, dan komunikasi sesama bawahan (staf), serta komunikasi berperantara (pengedaran memorandum, sidang, konvensi, buletin, news letter, lokakarya).

Adapun tipe saluran komunikasi persuasif politik adalah meliputi:

  1. Kampanye massa

Adalah proses penyampaian pesan persuasif (pengaruh) yang berupa program asas, platform partai politik yang dilakukan oleh komunikator politik kepada calon pemilih (calon konstituen) melaui media massa, cetak, radio, maupun televisi, agar memilih partai politik yang dikampanyekannya. Contohnya kesejahteraan seluruh petani, akan terwujud apabila memilih partai politik yang saya pimpin menang pemilu.

  1. Kampanye Interpersonal

Adalah proses penyampaian pesan persuasif (pengaruh) yang berupa program, asas, platform (garis perjuangan), pembagian kekuasaan partai politik yang dilakukan oleh kemunikator politik kepada tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh yang luas terhadap calon pemilih (calon konstituen) agar menyerukan untuk memilih partai politik yang dikampanyekannya. Contohnya Dialog dan Lobby Ketua Tim Sukses Capres-cawapres SBY-JK kepada Ketua Umum Partai Politik Bintang Reformasi dan tim lain kepada partai politik lain.

  1. Kampanye Organisasi

Adalah proses penyampaian pesan persuasif (pengaruh) yang berupa program, asas, platform (garis perjuangan), pembagian kekuasaan partai politik yang dilakukan oleh kemunikator politik kepada kader, fungsionaris, dan anggota dalam satu organisasi partai politik dan antar sesama anggota agar memilih partai politik yang dikampanyekannya. Contohnya Ketua Partai Politik memberi pesan persuasif kepada anggotanya (vertiakal), dan atau antar sesama anggotanya (horizontal).

EFEK (UMPAN BALIK/ FEEDBACK)

Menurut Ball Rokeah dan De Fleur, akibat (efek) potensial komunikasi dapat dikategorikan dalam tiga macam, yaitu:

  1. Akibat (efek) kognitif

Yaitu efek yang berkaitan dengan pengetahuan komunikan terhadap pesan yang disampaikan. Dalam kaitannya dengan kominikasi plitik, efek yang timbul adalah menciptakan dan memecahkan ambiguitas dalam pikiran orang, menyajikan bahan mentah bagi interpretasi personal, memperluas realitas sosial dan politik, menyusun agenda, media juga bermain di atas sistem kepercayaan orang.

  1. Akibat (efek) afektif

Yaitu efek yang berkaitan dengan pemahaman komunikan terhadap pesan yang disampaikan.

Dalam hal ini ada 3 efek komunikasi politik yang timbul, yaitu:

  1. Seseorang dapat menjernihkan atau mengkristalkan nilai politik melalui komunikasi politik

  2. Komunikais bisa memperkuat nilai komunikasi politik

  3. Komunikasi poltik bisa memperkecil nilai yang dianut

  1. Akibat Konatif (perubahan prilaku)

Yaitu efek yang berkaitan dengan perubahan prilaku dalam melaksanakan pesan komunikasi olitik yang dierimanya dari komunikator politik

Perwujuadan efek komunikasi poliik yang timbul adalah dapat berupa “partisipasi politik” nyata untuk memberikan suara dalam pemilihan umum DPR, DPD, DPRD, dan Presiden serta Wakil Presiden dan aau bersedia melaksanakan kebijakan serta keputusan politik yang dikomunikasikan oleh komunikator politik.

KOMUNIKAN (PENDENGAR)

Komunikan atau khlayak dalam komunikasi politik adalah semua khalayak yang tergolong dalam infrasturktur atau suprastruktu politik. Atau dengan kata lain semua komunikan yang secara hukum terikat oleh konstitusi, hukum, dan ruang lingkup komunikator suatu negara.

Komunikan dapat bersifat individual atau perorangan, dapat juga berupa institusi, organisasi, masyarakat secara keseluruhan, partai politik atau negara lain.

Apabila komunikan dijadikan sebagai objek dengan berbagai ketentuan normatif yang mengikatnya, sehingga komunikasi tidak memiliki ruang gerak yang bebas, dapat dipastikan bahwa proses komunikasi berada dalam sistem totaliter. Sebaliknya apabila komunikan bukan hanya sebagai objek tapi dijadikan partner bagi komunikator, sehingga pertukaran pesan-pesan komunikasi dalam frekuensi tinggi, maka dapat dipastikan bahwa sitem politik yang melandasi proses komunikasi tersebut berada pada sistem demokrasi. Tolok ukur ini dapat pula digunakan bagi perkembangan pendapat umum (public opinion) atau feedback (umpan balik). Dalam sistem totaliter baik pendapat umum atau umpan balik hampir tidak berfungsi. Sedangkan dalam sisem demokrasi pendapat umum atau umpan balik dijadikan alasan sebagai masukan (input) bagi penguasa untuk menyempurnakan kebijaksanaan komunikasi pemerintah.


HAKIKAT KOMUNIKASI POLITIK

Pengertian komunikasi politik

Komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama melalui lembaga politik (Astrid S. Susanto).



Fungsi Komunikasi Politik
  • Aspek Totalitas: Mewujudkan sustu kondisi negara yg stabil terhindar dari faktor2 negatif yg mengganggu keutuhan nasional.
  • Aspek Hub Suprastruktur& Infrastruktur Pol: Sbg jembatan penghubung antara kedua suasana dlm totalitas nasioanal yg bersifat independen dlm brlangsungnya suatu sist pd ruang lingkup negara.
Konsep Pembahasan Komunikasi Politik
  1. Authoritharianism: Negara lebih besar memiliki pengaruh dalam mengendalikan media komunikasi politik kepada masyarakat. Masyarakat tidak memiliki daya yang kuat untuk mengendalikan sistem komunikasi atau bahkan hanya bisa menerima semua pesan komunikasi politik yan disampaikan oleh negara aau pemerintah. Contoh: Penerapan Sistem Komunikasi Politik dalam Negara Sosialis Komunis.
  2. Liberitarianism: Masyarakat (society) lebih besar memiliki pengaruh dalam mengendalikan media komunikasi politik dalam kehidupan masyarakat dan negara. Negara hanya memiliki daya untuk memantau atau mengendalikan sistem komunikasi agar tidak melanggar semua aturan atau hukum yang berlaku dalam negara yang dapat berakibat kerugian pada masyarakat umum. Contoh : Penerapan Sistem Komunikasi Politik dalam Negara Demokrasi.
  3. Social Responsibility Theory: Negara lebih besar memiliki pengaruh dalam mengendalikan media komunikasi politik kepada masyarakat. Masyarakat tidak memiliki daya yang kuat untuk mengendalikan sistem komunikasi politik atau bahkan hanya dapat menerima sebagian besar pesan komunikasi politik yang disampaikan oleh negara atau pemerintah. Contoh : Penerapan Sistem Komunikasi Politik dalam Negara Sosialis Demokrat.
Unsur2 Kom Pol
  1. Unsur Komunikasi poltik dlm Lembaga Suprastruktur; Ada 3 klp: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif
  2. Unsur Komunikasi Politik dlm Lembaga Infrastruktur Politik
    1. Parpol
    2. Interest Group
    3. Media komunikasi pol
    4. Klp wartawan
    5. Klp mahasiswa
    6. Para tokoh pol

PERILAKU PENGUASA
Teori Elit Politik
  • Elit Menengah: Dari klp pedagang dan tukang yg trmasuk gol minoritas keagamaan atau kebangsaan.
  • Elit Dinasti: Elit aristokrat yg mempertahankan tradisi dan status quo.
  • Elit Revolusioner: Nilai2 lama perlu dihapus krn tdk co2k dg tingk kemajuan di bidang iptek.
  • Elit Nasionalistik: Mudah mengundang konflik antar pluralis.
  • Elit Kolonial: Tidak memberi kontribusi thd ilmu pengetahuan.
Teori Kepemimpinan
  1. Teori Pertama: Pemimpin memiliki karakter ttt sbg faktor pembeda thd masy biasa.
  2. Teori Kedua: Ciri2 seorang pemimpin yg mempunyai nilai scr psikis dan fisik.
  3. Teori Ketiga: Ditentukan oleh situasi waktu dan tempat saat pemimpin itu berada.
  4. Teori Keempat: Aktivitas pemimpin mjd cermin masy yg dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka.
Kekuasaan yg melekat pd pemimpin antara lain;
  1. Expert power: Pemimpin harus memilki pengetahuan dan keahlian ttt
  2. Referent power: Berlandaskan pd kesenangan, kekaguman pengikut, shg mengidentifikasi diri mereka thd pemimpin
  3. Reward power: Metode penghargaan thd pengikut dan masy
  4. Legimate power: Brlandas pd kewenangan melaksanakan pengaruh2 atas mereka
  5. Coersive power: Berlandas pd rasa takut dr para pengikutnya yg tdk mengindahkan keinginan pemimpin yg sll disertai hukuman

Kekuasaan, pembagian dan alokasinya

Kekuasaan

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
Kekuasaan dapat dilihat dari 2 sudut pandang yaitu keuasaan bersifat positif dan negatif.

1. Kekuasaan bersifat positif
merupakan Kemampuan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat mempengaruhi dan merubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-sungguh dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental.

2. Kekuasaan bersifat Negatif Merupakan sifat atau watak dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental. Biasanya pemegang kekuasaan yang bersifat negatif ini tidak memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang baik,mereka hanya berfikir pendek dalam mengambil keputusan tanpa melakukan pemikiran yang tajam dalam mengambil suatu tindakan, bahkan mereka sendiri terkadang tidak dapat menjalankan segala perintah yang mereka perintahkan kepada orang atau kelompok yang berada di bawah kekuasannya karena keterbatasan daya pikir tadi. dan biasanya kekuasaan dengan karakter negatif tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau golongan di atas kekuasannya itu. karena mereka tidak memiliki kemampuan atau modal apapun selain kekuasaan untuk menghasilkan apapun, dan para pemegang kekuasaan bersifat negatif tersbut biasanya tidak akan berlangsung lama karena tidak akan mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh rakyatnya.

Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai partai politik berusaha untuk merebut konstituen dalam masa pemilu. Partai politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat.

Kekuasaan cenderung korup adalah ungkapan yang sering kita dengar, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Power tends to corrupct. Apa benar?? Memang belum tentu benar, tetapi ungkapan tersebut tentu telah melalui penelitian dan pengalaman bertahun tahun. Untuk sekedar ilustrasi ada baiknya dibaca Kisah Naga Baru.


PEMBAGIAN KEKUASAAN

Pembagian kekuasaan dalam suatu negara, yaitu diletakkan secara vertikal dan horisontal. Kekuasaan secara vertikal adalah pembagian kekuasaan menurut tingkatnya, antara beberapa tingkat pemerintahan. Pembagian vertikal ini bila meminjam istilah Carl J. Friedrich merupakan pembagian kekuasaan secara teritorial (territorial division of power).

Konsepsi kekuasaan teritorial terpilah sebagai negara kesatuan, federal atau konfederasi. Seperti pembagian kekuasaan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dalam negara persatuan, antara pemerintahan federal dan pemerintah negara bagian dalam federal. Tetapi di banyak kasus pilihan terhadap negara dengan sifat kesatuan atau federalis adalah pilihan integrasi dari golongan-golongan dalam suatu wilayah. Namun persoalan sifat kesatuan atau federal dari suatu negara terkait persoalan pada bentuk negara dan persoalan negara bersusun (samengestelde Staten atau Statenverbindungen), yang oleh Hans Kelsen sebagai form of organization untuk kesemua negara, baik konfederasi, federasi atau kesatuan yang terdesentralistis.

Pada konfederasi terdiri beberapa negara berdaulat penuh secara ekstern atau intern, bersatu atas dasar perjanjian intenarsional yang diakui dengan menyelenggarakan alat perlengkapan tersendiri dan mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota konfederasi, tetapi tidak mengikat terhadap warga negara masing-masing anggota (lihat Edward M. Said, Political Institutions). Di sini keanggotaan negara tidak menghilangkan atau pun mengurangi kedaulatannya sebagai anggota konfederasi, sebab kelangsungan konfederasi berdasar keinginan dan kesukarelaan negara peserta. Konfederasi umumnya dibentuk untuk maksud tertentu umumnya bidang politik luar negeri dan pertahanan bersama.

Sedang bagi negara kesatuan, merupakan bentuk negara dimana wewenang legislatif dipusatkan dalam suatu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan tidak di pemerintahan daerah. Sementara kekuasaan daerah diposisikan dari kewenangan pusat berdasarkan hak otonomi. Artinya seluruh kedaulatannya keluar atau ke dalam sepenuhnya menjadi wewenang pemerintahan pusat, hal mendasar adalah kedaulatan pada negara kesatuan tidak terbagi dan bersifat satu. Adapun dua ciri negara kesatuan adalah pertama supremasi dewan perwakilan rakyat pusat dan kedua tidak adanya badan-badan lain yang berdaulat. Bentuk negara kesatuan memang merupakan negara dengan ikatan serta integrasi yang kokoh dibandingkan yang lain.

Berbeda dengan negara kesatuan, pada Negara federalisme agak sukar untuk dirumuskan, mengingat keberadaannya merupakan paduan dari bentuk kesatuan serta konfederasi. Negara federasi mencoba menyesuaikan dua konsep yang sebenarnya bertentangan yaitu kedaulatan negara federal dalam keseluruhannya atau kedaulatan negara-negara bagian. Sedangkan penyelenggaraan kedaulatan ke luar dari negara bagian diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah federal dan kedaulatan ke dalam dibatasi.

Dalam pilihan tersebut terdapat satu prinsip, yakni bahwa soal-soal yang menyangkut negara keseluruhan diserahkan kepada kekuasaan federal sebagai kepentingan nasional. seperti hal perjanjian internasional atau mencetak uang. Bila merujuk K.C. Wheare dalam Federal Government, prinsip pederal mengatakan bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintahan federal dan pemerintah negara bagian dalam bidang tertentu bebas satu sama lain. Misal kebebasan pemerintah federal dalam soal hubungan luar negeri dan mencetak uang, sedang dalam soal kebudayaan, kesehatan, dan sebagainya adalah hak-hak kebebasan pemerintah negara bagian dari intervensi pemerintah federal.

Dari hal perbedaan federasi dan kesatuan setidaknya ada dua kriteria berdasar hukum positif pertama adalah suatu federasi memiliki pouvoir constituent, yaitu suatu wewenang membentuk undang-undang dasar sendiri serta wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka dan batas konstitusi federal. Dalam kesatuan, organisasi bagian-bagian negara (pemerintah daerah) selalu mengacu atau ditetapkan oleh pembentuk undang-undang pusat.

Kedua,dalam negara federal wewenang membentuk undang-undang pusat untuk mengatur sesuatu telah terperinci satu persatu dalam konstitusi federal. Sedang dalam negara kesatuan wewenang pembentukan undang-undang pusat ditentukan atau ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan wewenang pembentukan undang-undang yang rendah atau lokal, tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat.

Sisi lain, secara insitusi bahwa dalam negara federal wewenang legislatif terbagi dua bagian, yakni badan legislatif pusat atau federal dan legislatif negara-negara bagian. Adapun bagi kesatuan, wewenang legislatif berada pada pusat, sedang kekuasaan legislatif rendahan atau lokal didasarkan dalam bentuk undang-undang organik yang ditentukan oleh badan legislatif pusat. Pembagian di atas terjadi juga pada wewenang eksekutif dan administratif.

Sedang secara fungsi dikenal dalam fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat eksekutif sebagai fungsi kekuasaan yang melaksanakan undang-undang (rule application function), legislatif sebagai fungsi pembuat undang-undang (rule making function). dan yudikatif sebagai kekuasaan yang berfungsi mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). Pembagian kekuasaan menurut fungsi ini dikenal sebagai trias politika atau pembagian kekuasaan (division of power), sebagai pembagian kekuasaan horisontal .

Bersandar Trias politika tersebut dibangun prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan yang ada tidak diserahkan kepada satu orang, dengan tujuan mencegah penyalahgunaan atau sikap otoriterianisme dari pihak yang berkuasa, tentu dengan tujuan agar hak-hak warga negara menjadi lebih terjamin. Prinsip ini pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan juga ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of powers).

Hal terpenting bagi John Locke dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690) merupakan kritik atas kekuasaan absolute dari raja-raja Struat (Inggris) serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang 1688 (The Glorious Revolution) yang dimenangkan oleh parlemen Inggris. Locke memang membagi kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu legislative, eksekutif dan federatif, yang terpisah satu sama lainnya. Locke menyatukan kekuasaan eksekutif dan legislatif, sedang Kekuasaan federatif bagi Locke meliputi segala tindakan menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan hubungan luar negeri lainnya.

Montesqueieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke disamping melihat ada despotisme raja-raja Bourbon (Perancis) dalam LEsprit des Lois (The Spirit of the Laws) 1748. Dia berkeinginan agar suatu sistem pemerintahan dapat menjamin keberadaan hak-hak dasar warga negara.

Montesquieu memang lebih menekankan kebebasan badan yudikatif, karena menurutnya di yudikatiflah kemerdekaan individu dan hak asasi manusia dijamin dan dipertaruhkan. Perkembangannya, prinsip dari pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam perkembangan sejarah politik Amerika diperkuat lagi oleh Checks and Balances, sebagai pengawasan dan keseimbangan agar masing-masing kekuasaan tidak akan melampaui batas wewenangnya. Seperti wewenang Presiden Amerika memveto rancangan undang-undang yang diterima kongres, sementara di sisi lain veto dapat dibatalkan kongres dengan dukungan 2/3 suara dari kedua majelis. Sedang check pada Mahkamah Agung adalah terhadap eksekutif dan legislative melalui judicial review (hak uji UU), pada hal lain keberadaan hakim agung yang telah diangkat oleh badan eksekutif seumur hidup dapat dihentikan oleh kongres jika terbukti melakukan tindakan kriminal. Termasuk Juga keberadaan Presiden dapat di impeach oleh kongres, tentu saja dengan proses validitas sebab musababnya dengan tetap mengacu pada kepentingan negara.

Dalam konteks Indonesia dari semua hal diatas, para Begawan kemerdekaan memang telah meletakan sistem kekuasaan dalam kebutuhan lokus Indonesia dengan segala kearifan ideologi dan nilai-nilai yang mendasari tentang ke-Indonesia-annya. Seperti pada pilihan kekuasaan yang dimaknai dengan musyawarah mufakat atau permusyawaratan perwakilan yang dipahami sebagai negara kekeluargaan bukan pilihan demokratisasi ala Barat yang saat ini berlangsung. Juga sikap menjadi Indonesia sebagai Negara Kesatuan berbentuk Republik dan tidak monarki Donstitusional seperti Inggris.

Kehati-hatian bersikap pada bentuk dan karakteristik kekuasaan Indonesia memang terpahami upaya menghindari pertentangan politik antar kelompok serta konflik-konflik yang dilatari feodalisme atau politik kedaerahan. Hal itu pula yang tercermati dan menjadi pertimbangan mendasar atas pilihan tersusunnya UUD 1945 ketika itu, yang ke semua diharapkan terakomodasi sebagai satu kesatuan tanpa harus mengorbankan siapapun. mungkin tidak akan ada tragedi kekuasaan Abdul Aziz Angkat.

Walaupun dalam sistem kekuasaan atau pemerintahan Negara hukum berciri kekeluargaan yang direka the founding fathers memang perlu dicermati dan ditegaskan peraturannya agar nepotisme dan kekerabatan tidak membentuk peodalisme dan kolusif, yang lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Sehingga pilihan kekuasaan tetap di koridor yang mengedepankan prinsip keadilan, transparansi informasi dan keterbukaan akses, prinsip persamaan atau kesetaraan warga terhadap perlakuan rejim kekuasaan. Kesemua, tentu saja dalam paradigma demokratisasi bahkan bila perlu dalam sistem kekuasaan ala Indonesia.


Alokasi sumber daya dalam diperbesar oleh dewan pemerintah

Dengan pembesaran dari Uni Eropa memiliki beberapa konsekuensi untuk euro euro dan lembaga daerah.

Dalam terakhir saya log saya bahwa Sideek M. Seyad, Associate Professor Eropa Keuangan Hukum Universitas Stockholm di Fakultas Hukum, telah menerbitkan dua bagian pada kertas "Legal Consequences dari Uni Eropa untuk pembesaran Euro".

Hari ini saya ingin menginformasikan tentang karya tentang "alokasi kekuasaan dalam dewan pemerintah diperbesar: sebuah Assesment dari ECB Rotation Model", oleh Ansgar Belke (University of Hohenheim) dan Barbara Styczynska (Universitas Fribourg) dalam Jurnal of Common Market Studies (Volume 44, No 5, pp. 865-97).

Model Rotation yang diletakkan di bawah Pasal 10,2 ESCB Statutes, yang telah diubah sesuai dengan Pasal 10,6 ESCB Statuta. Yang terakhir, yang disebut ayat memungkinkan diperkenalkan oleh Pasal 5 dari Nice Treaty.

Voting sistem yang baru adalah dua tingkat perputaran model, dimana NCB gubernur dialokasikan ke berbagai kelompok, setiap kelompok tertentu yang memiliki jumlah hak voting. Pada tahap transisi - ketika jumlah NCBs di kawasan euro adalah antara 16 dan 21 - ada dua kelompok. Adapun dari tanggal di mana jumlah gubernur mencapai 22, hak voting yang akan dialokasikan untuk tiga kelompok. Sebagai konsekuensi dari rotasi skema yang voting frekuensi dari gubernur akan sangat bervariasi.

Belke/Styczynska menyimpulkan bahwa negatif satu fitur yang diusulkan voting reformasi yang tajam regu dari alokasi kekuasaan selama awal euro area accession tahapan. Selain itu, mereka menyimpulkan bahwa negara-negara terutama acceding kehilangan pengaruh pada voting hasil voting dibandingkan dengan daya di bawah status quo.

Satu keuntungan, bagaimanapun, jadi Belke/Styczynska menyimpulkan, adalah lebih tinggi derajat perwakilan yang akan memerlukan reformasi. Hasil yang lebih penting, menurut penulis, adalah bahwa voting kekuasaan Dewan Eksekutif akan sangat kuat melalui reformasi. Di bawah "cukup realistis dugaan bahwa Dewan Eksekutif mewakili kepentingan daerah di euro, hasil ini cenderung datang sebagai manfaat".

Lingkungan, sistem politik dan kebijakan publik

Sebetulnya masih sangat prematur, akin tetapi sudah mulai menjadi tarohan yang populer. Akan tetapi, skenario atau konfigurasi yang bisa dilontarkan dewasa ini tidak akan lepas dari sentimen-sentimen politik yang bisa dibaca pada waktu ini.

PDI-Perjuangan sudah bisa dipastikan menjadi partai politik terbesar di DPR dan MPR. Berdasarkan kenyataan ini maka Megawati mempunyai hak terbesar untuk dipilih menjadi presiden RI. Akan tetapi, sentimen yang ada di kalangan partai Islam, ataupun yang massanya sebagian besar dari organisasi Islam (seperti PKB) dewasa ini menunjukkan adanya keseganan untuk menerima seorang peremupuan sebagai pimpinan negara. Gus Dur pun, yang dekat pada Megawati dan mendukungnya secara politis, mungkin harus memperhitungkan sentimen dari sebagian pengikutnya yang nanti menjadi anggota DPR/MPR. Maka dewasa ini kemungkinan Megawati menjadi presiden tampaknya tidak besar. Kecuali kalau massa PDI-P di Jawa dan Bali “berontak” dan turun ke jalan secara massal, yang kiranya tidak akan terjadi.

Di lain fihak, Golkar cepat atau lambat juga akan sadar bahwa mempertarohkan Habibie sebagai calon tunggal untuk jabatan presiden RI tidak bisa sebagai harga mati. Hasil pemilu terang menandakan bahwa Golkar dengan (pemerintah) Habibienya ditolak secara mentah-mentahan oleh penduduk di Jawa dan Bali. Jawa merupakan the heartland of the Republic (daerah jantung dari Republik). Kalau pemerintah baru nanti, oleh sebab dagang sapi serta money poltics di MPR, sampai menjadi pemerintah Habibie lagi, maka pasti tidak bisa bekerja lancar karena, pertama, setiap kali akan diganjel oleh “oposisi” di DPR, kedua, LSM dan gerakan-gerakan rakyat lain akan sering memenuhi jalanan di Jakarta. Citra pemerintahan menjadi labil, yang tak akan untungkan kebangkitan kembali ekonomi.

Bagaimana kalau Golkar ganti siasat politik dan menawarkan calon lain yang namanya masih bersih? Paling tidak akan mendapat sambutan lebih baik. Karena cara dan prosedur pemilihan presiden di MPR pada waktu ini belum diketahui, misalnya per fraksi, secara perorangan, dan perorangan secara terbuka (misalnya yang setuju berdiri) atau secara rahasia, maka kemungkinan peran dagang sapi serta money politics masih besar. Pemungutan suara secara perorangan dan secara rahasia memudahkan money politics, karena kalau seorang anggota DPR memilih Habibie oleh karena dijanjikan imbalan uang jumlah besar, maka ini tidak bisa diketahui oleh umum, Akan tetapi, sipemberi uang suap juga tidak bisa mengecheck.

Sementara itu, bisa dipastikan bahwa pengaruh Golkar di MPR akan jauh melebihi besar raihan suara di pemilu, oleh karena partai ini unggul di Indonesia bagian Timur dan di beberapa provinsi di Kalimantan dan Sumatra, yang memerlukan jumlah suara yang lebih kecil untuk menduduki satu kursi di DPR dan DPRD.

Bisa dilontarkan kesimpulan bahwa “Indonesia merupakan negara yang politik terpecah (divided)” karena Golkar, yang dipandang partai “status quo reformasi” unggul di luar Jawa dan Bali, sedangkan partai PDI-P dan partai baru yang menyebut diri “pro-reformasi” unggul di Jawa dan Bali. Mudah-mudahan “kepecahan” ini tidak untuk selama-lamanya, akan tetapi akan memberi warna kepada politik praktis selama lima tahun mendatang.

Ada skenario ketiga yang mungkin bisa lebih memenuhi kepentingan nasional, yakni presiden yang akan datang bukan Megawati dan bukan Habibie, melainkan figur baru yang serba independen, dipercayai oleh kedua kubu besar, dan bisa diterima secara nasional. Tidak ada tokoh yang ideal dan sempurna pada waktu ini. Tetapi Sultan Yogya mendekati persyaratan demikian. Dulu beliau tokoh Golkar, akan tetapi sekarang kiranya bisa diterima oleh Megawati dan Gus Dur. Amien Rais sebagai tokoh nasional harus diperhitungkan pula, dan di atas kertas mungkin ia merupakan tokoh yang akan lebih kapabel ketimbang Sri Sultan. Akan tetapi, Amien Rais dan PAN-nya ternyata tidak mampu meraih jumlah suara yang mengesankan di pemilu ’99, bahkan dikalahkan oleh PPP. Amien Rais mungkin juga kurang acceptable untuk TNI ketimbang Sri Sultan Yogya. TNI akan menguasai sejumlah kursi di MPR yang bisa memegang kunci..

Kalau Sri Sultan menjadi presiden, dan ini hanya hypotetis saja, siapakah bisa menjadi wakil presidennya? Ini juga akan merupakan pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Tetapi, salah suatu pertimbangan harus mengacu kepada realita bahwa sentimen politik antara Jawa (dan Jakarta) di satu fihak, dan luar Jawa, khususnya Indonesia bagian Timur termasuk mungkin Kalimantan, sangat berbeda. Maka idealnya, wakil presiden bisa dipilih dari bagian Timur. Kalau tidak ada calon yang acceptable secara nasional, maka diambil dari Sumatra. Kalau dari Sumatra, cukup banyak, misalnya Akbar Tanjung atau Emil Salim. Dari Timur lebih langka. Misalnya bisa disebut Marwah Daud dan Jusuf Kala, kalau kedua ini sudah bisa dipandang tokoh nasional berkaliber. Kedua tokoh ini mempunyai citra yang baik. Seorang wakil presiden yang perempuan juga memenuhi aspirasi kaum perempuan yang nanti akan sangat kecewa melihat jumlah anggota DPR perempuan berkurang sekali. Lagipula, DPI-P dikenal tidak terlalu gender conscious, termasuk Megawati.

Ada pertanyaan lain yang mencuat dewasa ini, yakni berkaitan dengan policy ekonomi. Apakah para menteri ekonomi harus orang partai, atau (jauh) lebih baik orang profesional non-partai? Tradisi Golkar condong ke alternatip kedua. Akan tetapi di zaman yang lalu DPR tidak powerful. Di masa yang datang DPR akan jauh lebih berpengaruh. Lagipula, partai-partai yang mendukung pemerintah baru tidak akan mempunyai mayoritas yang besar. Memerintah akan menjadi sangat lebih sukar.

Kalau, misalnya Kwik Kian Gie atau Laksamana Sukardi, tidak menjadi menteri melainkan aktip di DPR, sedangkan para menteri hanya profesional non-partai, maka besar kemungkinan “sang sopir duduk di bangku belakang” sebagai backseat driver yang sering cerewet. Ini tidak akan menjamin pemerintah efektip. Andaikata Megawati tidak bisa menjadi presiden maka menteri-menteri PDI-P harus ada dan kuat.

Salam.


Sistem Politik Indonesia

Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Para Bapak Bangsa (the Founding Fathers) yang meletakkan dasar pembentukan negara
Indonesia, setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka sepakat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar diribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI.

Indonesia pernah menjalani sistem pemerintahan federal di bawah Republik Indonesia Serikat (RIS) selama tujuh bulan (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950), namun kembali ke bentuk pemerintahan republik.

Setelah jatuhnya Orde Baru (1996 - 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah
terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep Otonomi Daerah untuk mewujudkan desentralisasi kekuasaan.


Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia

Sebagai suatu Negara merdeka dan berdaulat, serta anggota masyarakat internasional, Indonesia harus mempunyai dan melaksanakan politik luar negeri. Politik luar negeri tersebut merupakan bagian dari seluruh kebijaksanaan pemerintah. Politik luar negeri bertujuan untuk mencapai dan memelihara kepentingan nasional dalam hubungannya dengan luar negeri. Politik luar negeri yang juga mencerminkan kepentingan nasional dibidang luar negeri diwujudkan dalam berbagai kegiatan dengan Negara Negara lain, baik dalam bentuk bilateral maupun dalam bentuk kerjasama regional tataupun internasional.

Dalam politik luar negeri, pepemerintah menetepkan urutan prioritas kepentingan yang hendak diperjuangkan dan tujuan yang ingin dicapai. Selanjutnya, cara pendekatan dan pelaksanaannyadirumuskan dalam suatu kebujaksanaan luar negeri. Usaha untuk melaksanakan kebijaksanaan tersebut dilakuan melalui diplomasi. Indonesia menyebut usaha untuk melaksanakan kebijaksaan luar negeri dengan nama diplomasi perjuangan.

Dasar dasar politik luar negeri Indonesia tercantum dalam pembukaan UUD 1945. politik lur negeri mempunyai landasan yang kuat karena berakar dari falsafah pancasila yang merupakan pngejawantahan cita cita bangsa dan harus dipatuhi secara setia, seerta tidak boleh menyimpang dari pancasila.

Politik luar negeri Indonesia dikenal dengan politik luar negeri bebas dan aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional. Bebas, artinya tidak memihak pada kekuatan kekuatan yang berhadapan untuk saling menguasai. Aktif, artinya Indonesia berperan secara aktif mengusahakan perdamaina dunia.

Adapun landasan dari politik luar negeri adalah sebagai berikut.

a.landasan idiil, yaitu pancasila, sila kemanusiaan yang adil dan beradab.
b.Landasan structural, yaitu undang undang dasar 1945 yang terdapat pada bagian berikut.

1)pembukaan UUD 1945 alinea 1 pada kalimat,…”kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan…” , hal ini mengandung arti bangsa Indonesia anti penjajahan dan lebih mencintai perdamaian. Alinea VI, yaitu pada tujuan nasional yang keempat,…”ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social”.
2)Batang tubuh UUD 1945
Pasal 11 ayat (1), (2), dan (3) berbunyi sebagai berikut.

Konsep peran dan status

Peran Politik Etnis Tionghua

Ketika pada tahun 1293 kaisar Kubilai Khan dari dinasti Yuan (1280-1367) memerintahkan pasukannya untuk menyerbu pulau Jawa dan memberi pelajaran kepada raja Kartanegara dari kerajaan Singosari yang dianggap membangkang, ternyata di sepanjang pesisir utara pulau Jawa telah ditemukan koloni-koloni pemukiman etnis Tionghoa. Orang-orang Tionghoa ini yang berasal dari propinsi Hokkian di daratan Tiongkok, pada umumnya adalah para pedagang perantara, petani dan tukang-tukang kerajinan yang hidup dengan damai bersama penduduk setempat. Kemudian sebagian prajurit pasukan Kubilai Khan yang terdiri dari orang-orang Tionghoa yang direkrut dari propinsi Hokkian tidak mau kembali ke daratan Tiongkok. Mereka takut menghadapi ancaman hukuman, karena pasukannya tertipu masuk perangkap Raden Wijaya dan berhasil dihancurkan. Sebelumnya Raden Wijaya dengan bantuan pasukan Kubilai Khan berhasil mengalahkan pasukan Singosari dan setelah itu ia mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu banyak anggota pasukan Kubilai Khan yang takut menghadapi pelayaran kembali ke daratan Tiongkok yang penuh bahaya alam dan perompak. Akhirnya mereka memilih untuk menetap di pesisir utara pulau Jawa dan menikah dengan perempuan-perempuan setempat. Merekalah yang mengajarkan cara-cara membuat bata, genting, gerabah dan membangun galangan kapal perang serta teknologi mesiu dan meriam-meriam berukuran besar dan panjang.

Pada abad ke-15 di masa dinasti Ming (1368-1643), orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di pulau Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Kong pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang. Selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit, ia juga bertujuan menyebarkan agama Islam. Selain Laksamana Cheng Ho, sebagian besar dari wali songo yang berjasa menyebarkan agama Islam di pesisir pulau Jawa dan mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak berasal dari etnis Tionghoa. Para wali tersebut antara lain Sunan Bonang (Bong Ang), Sunan Kalijaga (Gan Si Cang), Sunan Ngampel (Bong Swi Hoo), Sunan Gunung Jati (Toh A Bo) dllnya konon berasal dari Champa (Kamboja/Vietnam), Manila dan Tiongkok. Demikian juga Raden Patah alias Jin Bun (Cek Ko Po), sultan pertama kerajaan Islam Demak, adalah putera Kung Ta Bu Mi (Kertabumi), raja Majapahit (Brawijaya V) yang menikah dengan puteri Cina, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (Babah Bantong).

Ketika pada tanggal 23 Juni 1596 armada Belanda di bawah pimpinan Cornelis Houtman berhasil mendarat di pelabuhan Banten, ia tercengang karena menjumpai koloni Tionghoa yang mempunyai hubungan yang harmonis dengan penduduk dan penguasa setempat. Selain di Banten, orang-orang Belanda dan kemudian orang-orang Inggris juga menjumpai koloni-koloni Tionghoa di kebanyakan bandar-bandar Asia Tenggara seperti di Hoi An, Patani, Phnom Penh dan Manila. Pada tahun 1642 di Hoi An terdapat empat-lima ribu orang Tionghoa dan di Banten pada tahun 1600 terdapat tiga ribu orang Tionghoa.

Pada tahun 1611 Jan Pieterszoon Coen diutus Gubernur Jenderal VOC Pieter Both untuk membeli hasil bumi, terutama lada di Banten, ternyata ia harus berurusan dengan seorang pedagang Tionghoa kepercayaan Sultan yang bernama Souw Beng Kong (Bencon). Souw Beng Kong adalah seorang pedagang Tionghoa yang sangat berpengaruh dan mempunyai perkebunan lada yang luas sekali. Ia sangat dihormati dan dipercaya penuh oleh Sultan dan para petani Banten. Setiap pedagang asing seperti Portugis, Inggris dan Belanda yang ingin membeli hasil bumi dari petani Banten harus melakukan negosiasi harga dan lain-lainnya dengan Souw Beng Kong. Kemudian Souw Beng Kong coba dipengaruhi Jan Piterszoon Coen, tetapi tidak berhasil karena ia merasa Coen terlampau menekannya. Sebaliknya sultan Banten merasa puas dengan keberadaan Souw Beng Kong dan orang-orang Tionghoa lainnya, karena orang-orang Tionghoa inilah yang banyak mengajarkan teknologi baru, terutama di bidang pertanian.Mereka mengajarkan cara menanam padi di sawah yang berpetak-petak dengan mempergunakan pematang dan membajak serta mengairinya, karena sebelumnya mereka hanya menanam padi di ladang yang sudah tentu hasilnya kurang memuaskan. Namun ketika Coen pada tahun 1619 berhasil merebut Jayakarta dan berniat membangunnya menjadi Batavia, sebuah bandar yang ramai untuk menyaingi Banten, ia berhasil membujuk Souw Beng Kong untuk membawa orang-orang Tionghoa hijrah ke Batavia. Ia kemudian diberi gelar kapitein (titulair) Tionghoa pertama agar dapat memimpin dan mengarahkan orang-orang Tionghoa di Batavia serta memindahkan pendaratan jung-jung yang membawa barang dagangan dari Tiongkok ke Batavia. Berkat bantuan Souw Beng Kong dan orang-orang Tionghoa lah, Batavia berhasil dibangun menjadi Bandar yang ramai dan menjadi pusat perdagangan yang penting di Asia Tenggara. Perlu dicatat juga jasa Phoa Beng Gan (Binggam) yang atas gagasan dan prakarsanya serta dukungan dana masyarakat Tionghoa
Batavia, berhasil dibangun kanal yang membelah daerah Molenvliet (sekarang Jl.Gajah Mada dan Hayam Wuruk). Pembangunan kanal tersebut kemudian dilanjutkan untuk disambungkan dengan kali Ciliwung dengan membelah daerah tersebut menjadi Noordwijk (Jl.Djuanda) dan Rijswijk (Jl.Veteran), untuk menghindari banjir yang selalu menimpa kota Batavia.

Pada masa itu pulalah orang-orang Tionghoa yang berdiam di luar tembok kota Batavia mulai mengembangkan perkebunan tebu dan industri gula. Penggilingan tebu dilakukan dengan cara sangat sederhana yaitu dengan menaruh dua tabung kayu yang diputar oleh seekor sapi dengan perantaraan sebuah sistim roda gigi serta sebuah poros sepanjang 4.5 meter. Kedua tabung tersebut tegak lurus, kemudian batang tebu dimasukkan ke dalamnya dan diperas dua kali untuk mendapatkan sebanyak mungkin sarinya. Sari tebu tersebut kemudian dipanaskan untuk dijadikan gula. Karena kekurangan bahan bakar untuk tungku, maka sejak tahun 1815 industri gula tersebut dipindahkan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pada tahun 1740 di Batavia terjadi pembunuhan massal orang-orang Tionghoa yang dilakukan tentara VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier. Lebih dari 10.000 orang Tionghoa menjadi korban pembantaian yang di luar peri kemanusiaan. Sebagai kelanjutan dari peristiwa tersebut, terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa yang bersekutu dengan orang-orang Jawa melawan pasukan VOC di Jawa Tengah (1740-1743). Kalau saja tidak terjadi pengkhianatan Sunan Paku Buwono II dari Mataram dan bantuan Pangeran Adipati Cakraningrat IV dari Madura, pasukan VOC yang sudah terdesak dan terkurung di kota Semarang berhasil diusir dari Jawa Tengah dan besar kemungkinan dari seluruh pulau Jawa.


Takdir Partai Politik Status Quo

imageSeluruh manusia di jagad ini setidaknya pernah mendengar istilah NAZI. Ya, ini merupakan sebuah nama yang amat populer yang merujuk pada nama sebuah partai yang sangat berkuasa di Jerman era Perang Dunia II dengan Adolf Hitler, seorang mantan Kopral, sebagai tokoh tertingginya.

NAZI sebenarnya memiliki nama sebagai Partai Nasional Sosialisme (Nationalsozialismus), merujuk pada sebuah ideologi totalitarian. Dalam bahasa Jerman, nama resminya adalah Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP) yang memiliki arti lebih kurang sebagai Partai Buruh Nasionalis Sosialis Jerman. Kata ini juga merujuk pada kebijakan yang dianut oleh pemerintahan Jerman pada tahun 1933—1945, sebuah periode yang kemudian dikenal sebagai Jerman Nazi atau Third Reich. Istilah NAZI bisa jadi berasal dari paham nasionalisme Jerman (Nationalsozialismus). Sampai hari ini orang-orang yang berhaluan ekstrim kanan dan rasisme sering disebut sebagai Neo-Nazi. ........

Peran perawat dibidang politik

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keperawatan bukan profesi yang statis dan tidak berubah tetapi profesi yang secara terus-menerus berkembang dan terlibat dalam masyarakat yang berubah, sehingga pemenuhan dan metode perawatan berubah, karena gaya hidup berubah. Berbicara tentang keperawatan berarti berbicara tentang keperawatan pada satu waktu tertentu, dan dalam hal ini, bab ini akan membicarakan tentang “Peran Perawat di Bidang Politik”.
Satu trend dalam pendidikan keperawatan adalah berkembangnya jumlah peserta didik keperawatan yang menerima pendidikan keperawatan dasar di sekolah dan Universitas. Organisasi keperawatan professional terus-menerus menekankan pentingnya pendidikan bagi perawat dalam mendapatkan dan memperluas peran baru.
Trend praktik keperawatan meliputi berkembangnya berbagai tempat praktik dimana perawat memiliki kemandirian yang lebih besar. Perawat secara terus-menerus meningkatkan otonomi dan penghargaan sebagai anggota dari tim asuhan kesehatan. Peran perawat meningkat dengan meluasnya focus asuhan keperawatan.
Trend dalam keperawatan sebagai profesi meliputi perkembangan aspek-sapek dari keperawatan yang mengkarakteristikkan keperawatan sebagai profesi, meliputi pendidikan, teori, pelayanan, otonomi dan kode etik. Aktivitas dari organisasi professional keperawatan menggambarkan seluruh trend dalam pendidikan dan praktik keperawatan kontemporer.
1.2 Rumusan Masalah
1)Bagaimana kontroversi strategi pendidikan keperawatan di era globalisasi ini?
2)Bagaimana strategi pelayanan keperawatan di era globalisasi ini?
3)Bagaimana sistem penataan praktek keperawatan di Indonesia?
4)Bagaimana etika politik perawat dalam merawat pasien?
5)Bagaimana perbedaan model zaman sekarang dalam etika profesional?
6)Apa yang dilakukan seorang perawat di dunia politik?
7)Apa PPNI itu?

1.3 Tujuan
1)Untuk mengetahui politik keperawatan di era globalisasi
2) Agar perawat dapat mengaplikasikan etika politiknya dalam merawat pasien
3)Untuk mengetahui trend politik keperawatan saat ini
4)Untuk mengetahui tatanan pelayanan keperawatan profesional
5)Untuk mengetahui organisasi keperawatan di Indonesia



BAB II
PEMBAHASAN

2.1Kontroversi Strategi Pendidikan Keperawatan di Era Globalisasi
Profesionalisme keperawatan merupakan proses dinamis dimana profesi keperawatan yang telah terbentuk mengalami perubahan dan perkembangan karakteristik sesuai dengan tuntutan profesi dan kebutuhan masyarakat. Proses profesionalisasi merupakan proses pengakuan terhadap sesuatu yang dirasakan, dinilai dan diterima secara spontan oleh masyarakat. Profesi keperawatan, profesi yang sudah mendapatkan pengakuan dari profesi lain, dituntut untuk mengembangkan dirinya untuk berpartisipasi aktif dalamsistem pelayanan kesehatan di Indonesia agar keberadaannya mendapat pengakuan dari masyarakat. Untuk mewujudkan pengakuan tersebut, maka perawat masih memperjuangkan langkah-langkah profesionalisme sesuai dengan keadaan dan lingkungan social di Indonesia. Proses ini merupakan tantangan bagi perawat Indonesia dan perlu dipersiapkan dengan baik, berencana, berkelanjutan dan tentunya memerlukan waktu yang lama.
Institusi pendidikan keperawatan sangat bertanggung jawab dan berperan penting dalam rangka melahirkan generasi perawat yang berkwalitas dan berdedikasi. Sejalan dengan berkembangnya institusi pendidikan keperawatan di Indonesia semakin bertambah jumlahnya. Motivasi dari pendirian institusi pendidikan keperawatanpun sangat bervariasi dari alasan “Bisnis” sampai dengan “Sosial”. Dan yang kemudian menjadi pertanyaan dan keganjilan adalah banyaknya pemilik dan pengelola institusi pendidikan keperawatan ini yang sama sekali tidak memiliki pemahaman yang cukup
tentang keperawatan baik secara disiplin ilmu atau profesi. Ini menjadi penyebab rendahnya mutu lulusan dari pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia dan tidak siap untuk bersaing.
Salah satu tolok ukur kwalitas dari perawat dipercaturan Internasional adalah kemampuanuntuk dapat lulus dalam Ujian Kompetensi Keperawatan seperti ujian NCLEX-RN dan CGFNS sebagai syarat mutlak bagi seorang perawat untuk dapat bekerja di USA. Dalam hal ini kualitas dan kemampuan perawat Indonesia masih sangat memprihatinkan. Di Kuwait pernah terjadi fakta yang memalukan sekaligus menjatuhkan kredibilitas bangsa terutama system pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia memiliki permasalahan yang berkaitan dengan Higher Education bagi perawat Indonesia yang bekerja di Kuwait
Hal tersebut lebih disebabkan karena system pendidikan keperawatan kita yang sangat bervariasi. Efek yang paling buruk dari hal tersebut adalah tidak diakuinya perawat yang memiliki ijazah S1 Keperawatan (S.Kep) dan mereka hanya disamakan dengan D3 Keperawatan. Institusi pendidikan keperawatan harus dilakukan perubahan secara total antara lain:
a.Standarisasi jenjang, kualitas/mutu, dari institusi pendidikan keperawatan.
b.Merubah bahasa pengantar dalam pendidikan keperawatan dengan menggunakan bahasa Inggris.
c.Menutup Institusi pendidikan keperawatan yang tidak berkualitas.
d.Institusi pendidikan keperawatan harus di pimpin oleh seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan keperawatan.
e.Standarisasi kurikulum dan evaluasi bertahan terhadap staf pengajar di Institusi pendidikan keperawatan.
f.Semua dosen dan staf pengajar di institusi pendidikan keperawatan harus berbahasa Inggris secara aktif.
g.Memberantas segala jenis KKN di Institusi pendidikan dimulai dari perizinan penerimaan mahasiswa, proses pendidikan dan akreditasi serta proses kelulusan mahasiswa.

2.2 Strategi Pelayanan Keperawatan di Era Globalisasi
Praktek keperawatan sebagai tindakan professional harus didasarkan pada penggunaan pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh dari berbagai ilmu dasar serta ilmu keperawatan di jadikan sebagai landasan untuk melakukan pengkajian, menegakkan diagnostic, menyusun perencanaan, malaksanakan asuhan keperawatan dan mengevaluasi hasil dari tindakan keperawatan serta mengadakan penyesuaian rencana keperawatan untuk menentukan tindakan selanjutnya.
Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal, dan teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri. Tapi yang terjadi di lapangan sangat memilukan, banyak sekali rekan-rekan perawat yang melakukan “Praktek Pelayanan Medis/Kedokteran dan Pengobatan” yang sangat tidak relevan dengan ilmu keperawatan itu sendiri. Hal tersebut telah membuat profesi perawat di pandang rendah oleh profesi lain.
Banyak hal yang menyebabkan hal ini berlangsung berlarut-larut antara lain:
a.Kurangnya kesadaran diri dan pengetahuan dari individu perawat itu sendiri.
b.Tidak jelasnya aturan yang ada seperti belum di tetapkannya RUU Keperawatan serta tidak tegasnya komitmen penegakan hukum di Indonesia.
c.Minimnya penghargaan financial dari pihak-pihak terkait terhadap perawat.
d.Kurang optimalnya perannya organisasi profesi keperawatan.
e.Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang perawat dan keperawatan yang lebih disebabkan karena kurangnya informasi yang diterima oleh masyarakat berkaitan tentang profesi perawat dan keperawatan terutama di daerah yang masih menganggap bahwa perawat juga tidak berbeda denagn “dokter”.
Sementara itu, dunia Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit juga masih sangat jauh dari nyaman, rekan-rekan perawat bekerja selama 24 jam 1 hari dalam 2 atau 3 shift, sedangkan pendapatan mereka masih sangat jauh dari memadai. Sebagai perbandingan perawat Indonesia yang bekerja di Kuwait mendapatkan gaji berkisar Rp.15 juta s/d Rp.24 juta sebulan, sedangkan rekan-rekan perawat yang bekerja di Indonesia jauh dibawah kebutuhan hidup mereka.
Beberapa contoh diatas lebih disebabkan karena selama ini kita dianggap kecil oleh profesi lain. Perawat mutlak sangat di perlukan dan dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan. Kita harus sudah mulai berani untuk berbicara karena keadilan itu harus ditegakkan, yang harus segera dilaksanakan adalah:
a.Penentuan standarisasi gaji untuk perawat tentu setelah melalui uji kompetensi.
b.Menciptakan system sirkulasi dalam penempatan perawat Indonesia ke luar negeri sehingga pada jangka panjang akan terjadi peningkatan penghargaan dan kesetaraan terhadap profesi keperawatan di Indonesia.
c.Memberikan sanksi kepada Rumah Sakit atau Institusi pelayanan kesehatan yang tidak memberi gaji sesuai dengan standard.

2.3 Penataan Praktek Keperawatan
Dalam suatu penataan praktek keperawatan perlu adanya undang-undang, maka semua itu harus sesuai dengan standar kompetensi profesi, salah satunya kompetensi perawat ( SKP ) yang sudah diakui secara nasional. Penetapan SKP telah Konvensi Nasional antara BNSP, PPNI, dan Depkes pada tanggal 1-2 Juni 2006 di Gedung Depkes JL. HR Rasuna Said,Kuningan Jakarta Selatan. SKP Nasional Indonesia mengacu pada kerangka kerja Konsil Keperawatan Internasional ( ICN, 2003 ) yang menekankan pada perawat generalis yang bekerka dengan klie individu, keluarga dan komunitas dalam tatanan asuha keperawatan di rumah sakit dan komunitas serta bekerja sama dengan pemberi asuhan kesehatan dan social lainnya. Dalam kerangka kerja ICN, kompetensi perawat generalis dikelompokkan menjajedi 3 judulkompetensi utama, yaitu Praktek keperawatan profesional, Pemberian asuhan keperawatan dan menejemen keperawatan Pengembangan professional.
Peran profesional perawat tidak akan bisa di capai, kalau model praktik keperawatan di pelayanan belum ditata secara professional. Model praktik keperawatan professional yang dilaksanaka oleh perawat di tatanan pelayanan keperawatan masih mejadi suatu abstraksi. Pelayanan asuhan keperawatan yang optimal akan terus digunakan sebagai tuntutan bagi organisasi pelayanan kesehatansistem pemberian pelayanan kesehatan ke system desentralisasi. Dengan meningkatnya pendidikan bagi perawat, diharapkan dapat memberikan arah terhadap pelayanan keperawatan berdasarkan pada issue di masyarakat.
Sejak diakuinya keperawatan sebagai profesi dan ditumbuhkannya Pendidikan Tinggi Keperawatan (D3 Keperawatan) dan berlakunya UU No.23 Tahun 1992,dan PERMENKES No.1239/2000; proses registrasi dan legislasi keperawatan, sebagai bentuk pengakuan adanya kewenangan dalam melaksanakan praktik keperawatan professional. Ada 4 model praktik yang diharapkan ada yaitu: model praktik di Rumah Sakit, rumah, berkelompok, dan individual. Akan tetapi pelaksanaan PERMENKES tersebut masih perlu mendapatkan persiapan yang optimal oleh profesi keperawatan.

2.4 Etika Politik dalam Merawat Pasien
Etika adalah mengenai pengawasan bagi orang lain, kepedulian terhadap perasaan, banyak sumber praktis. “Merawat seseorang berarti bertindak untuk kebaikan mereka, membantu mengembalikan otonomi mereka, membantu mereka untuk mencapai potensi penuh mereka. Mencapai tujuan hidup mereka dan pemenuhan kebutuhan”.
Dalam pengalaman menderita mungkin tidak hanya membuat kita lebih simpati, tapi mungkin juga membantu kita untuk lebih empati terhadap pasien kita. Simpati adalah perasaan yang timbul secara spontan yang kita miliki atau tidak dimiliki. Empati adalah kemampuan untuk meletakkan diri kita dalam sesuatu orang lain, dalam suatu seni yang dapat dipelajari, latihan imajinasi yang dapat dilatih. Perasaan ini dapat menjadi motivator yang kuat, yang juga dapat diperoleh dalam melakukan tanggung jawab professional kita.
Jika kita memilih menjadi perawat untuk memenuhi kebutuhan pribadi, atau hanya sebagai aututerapi tanpa disadari, untuk menghadapimasalah dan kecemasan sendiri, pasien akan menderita karena pekerjaan kita yang akan menjadi catatan bagi mereka. (Eadie 1975, Shimpson et all 1983).
Merawat bisa menjadi merusak orang lain jika kita tidak mengerti dinamika aslinya, yaitu seperti dorongan psikologis yang kompleks yang muncul dalam operasi ketika kita dalam posisi tangguh sebagai penolong terhadap pasien yang relative tidak mandiri dan lemah. Inilah, mengapa psikiater dalam pelatihan dan perawat psikiatri didukung untuk mengalami psikoanalisis pribadi atau terlibat dalam terapi kelompok, sebagai proses untuk mengungkapkan perasaan yang terdalam dan sering tersembunyi dengan maksud lain.
Ketika pengawasan dan perhatian dari perawat yang baik dapat melakukan kekuasaannya dengan baik, over protektif, menguasai atau mengganggu dan pengawasan seperti pada bayi, seperti pengasuhan yang jelek, juga bias menjadi sangat merusak, ini dapat dikatakan bahwa “kebaikan terbesar kita juga merupakan sumber potensial kelemahan dan kejahatan kita”.
Beberapa praktik dan sikap perawat dapat membawa mereka kepada konfliklangsung dengan tim kesehatan yang terkait dalam merehabilitasi kesehatan pasien,dengan fisioterapis dan ahli terapi yang menjabat. Konflik disini bukan hanya dalam persaingan profesionalitas atau ketidak jelasan batasan kerja, tapi juga perbedaan dalam interpretasi tentang perawatan dandalam praktik perawatan.
Dari suatu pandangan yang lazim, perawat juga merupakan pegawai yang melakukan pekerjaan tertentu seefisien dan seefektif mungkin. Hasilnya, pembatasan-pembatasan layak di pertimbangkandan batasan praktik dapat dilakukan pada waktu yang tersedia untuk hubungan perawatan dan dan perhatian terhadap kebutuhan tertentu pasien.
Pengalaman perawat menghadapi kenyataan hubungan kekuasaan dalam bekerja dengan pasien dan dokter,berarti bahwa mereka mengetahui bahwa etika harus dilakukan dengan kekuasaan dan pembagian kekuasaan dalam hubungan langsung antar pribadi. Bagaimanapun, tantangan adalah untuk memahami sifat alami hubungan kekuasaan dan etika pembagian kekuasaan, dalam mengajar, dalam management, dalam pendidikan kesehatan dan riset, dalam mempengaruhi sumber daya, dan dalam politik kesehatan local dan nasional.
Perawat tidak hanya belajar merawat pasien, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan pasien secara umum. Ini berarti memperhatikan standard dan management pelayanan, kemampuan staff, efisiensi dan efektifitas prosedur yang digunakan, peningkatan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, dan kesehatan masyarakat. Jika kepedulian terhadap kesehatan dipahami dari arti perspektif luas, perawat cepat mengetahui bahwa politik dan etika perawatan berlanjut satu sama lain, pembagian dan kepedulian, menghormati orang dan keadilan, kaitan kekuasaan dan nilai-nilai adalah saling berhubungan, dan memaksakan tanggung jawab politis pada mereka. Pada akhirnya perjuangan menjadi lebih baik dan kondisi yang lebih patut untuk pasien dan perawat serta petugas kesehatan lain yang tidak dapat dipisahkan.
Bukan tidak mungkin menggabungkan kualitas personal yang sensitive dan peduli dengan yang kompeten dan efisiensi dalam management, atau empati kepada orang lain dengan orang yang keras dalam susunan staff, atau perundingan bersama.

2.5 Perbedaan Model Zaman Sekarang untuk Etika Profesional
Adalah sulit untuk menyatukan kembali etika personal yang peduli dengan tipe etika yang diperlukan untuk management sistem pemberian pelayanan kesehatan modern yang kompleks. Hal ini muncul karena tekanan antara perbedaan jenis kompetisi etik dalam kehidupan professional, perbedaan antara: etika keperawatan, etika pelayanan, etika pelayanan public dan etika bisnis.

2.6 Saatnya Perawat Terjun ke Dunia Politik
Akhir – akhir ini banyak masalah yang melanda profesi keperawatan ini berkaitan dengan tidak adanya seseorang perawat yang menjadi pemegang kebijakan baik di eksekutif maupun legislative.disamping itu juga disinggung mengenai undang – undang keperawatan yang sampai kini belum juga terselesaikan karena tidak adanya keterwakilan seorang perawat dalam posisi tersebut.
Arti politik secara umum adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara. Disebutkan juga bahwa politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya.
Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat structural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bias dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh Negara untuk bias teraktualisasikan, saat tiap individu lain sesuai dengan normadan hukum yang berlaku.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan seorang perawat dalam berperan secara aktif maupun pasif dalam dunia politik. Mulai dari kemampuan yang harus dimiliki dalam bidang politik hingga talenta yang harus dimiliki mengenai “Sense of Politic”. Dalam wilkipedia Indonesia disebutkan bahwa seseorang dapat mengikuti dan berhak menjadi insane politik dengan mengikuti suatu partai politik , mengikuti ormas atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Maka dari hal tersebut seseorang berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh UUD dan perundangan hukum yang berlaku.
Dari hal tersebut, perawat yang merupakan bagian dari insan perpolitikan di Indonesia juga berhak dan berkewajiban ikut serta dan mengambil sebuah kekuasaan demi terwujudnya regulasi profesi keperawatan yang nyata. Dari hal tersebut juga terlihat bahwa perawat dapat memperjuangkan banyak hal terkait dengan umat maupun nasib perawat itu sendiri.
Pentingnya dunia politik bagi profesi keperawatan adalah bahwasanya dunia politik bukanlah dunia yang asing, namun terjun dan berjuang bersamanya mungkin akan terasa asing bagi profesi keperawatan. Hal ini ditunjukkan belum adanya keterwakilan seorang perawat dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Tidak dipungkiri lagi bahwa seorang perawat juga rakyat Indonesia yang juga memiliki hak pilih dan tentunya telah melakukan haknya untuk memilih wakil-wakilnya sebagai anggota legislative namun seakan tidak ada satu pun suara yang menyuarakan hati nurani profesi keperawatan. Tentunya hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena profesi kita pun membutuhkan penyampaian aspirasi yang patut untuk didengar dan diselesaikannya permasalahan yang ada, yang tentunya akan membawa kesejahteraan rakyat seluruh profesi keperawatan. Sulitnya menjadikan RUU Keperawatan seringkali dikaitkan dengan tidak adanya keterwakilan seorang perawat di badan legislative sana.
Menjadi bagian dari dunia perpolitikan di Indonesia, diharapkan seorang perawat mampu mewakili banyaknya aspirasi dan menyelesaikan permasalahan yang ada di profesi keperawatan salah satunya seperti yang disebutkan diatas yaitu mengenai bagaimana meregulasi pendidikan keperawatan yang hasil akhirnya diharapkan tercapainya kualitas perawat bias dipertanggung jawabkan.
Regulasi pendidikan akan menjadikan tidak bermunculnya institusi pendidikan keperawatan yang hanya mencari untung, politik uang, dan institusi yang tidak melakukan penjaminan mutu akan output perawat yang di luluskan setiap periodenya. Dengan regulasi pendidikan keperawatan, semua menjadi terstandarisasi, profesi keperawatan yang mempunyai nilai tawar, nilai jual, dan menjadi profesi yang dipertimbangkan.
Regulasi kewenangan perawat di lahan kliniktidak kalah pentingnya dengan regulasi pendidikan, dimana regulasi pendidikan merupakan bagaimana kita melakukan persiapan yang matang sebelum membuat dan memulai (perencanaan), dimana kita melakukan pembangunan fondasi yang kokoh dan system yang mensupport akan terbentuknya generasi perawat-perawat yang siap tempur. Regulasi kewenangan perawat dilahan klinik akan menjadiakan profesi keperawatan semakin mantap dalam langkahnya. Kewenangan perawat yang mandiri, terstruktur dan ranah yang jelas akan menjadikan perawat semakin professional dan proporsional sesuai dengan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Selain itu, dalam regulasi kewenangan ini di harapkan tidak terjadi adanya overlap dan salah satu yang paling penting adalah menghindari terjadinya malpraktik yang kemungkinan dapat terjadi.
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh seorang perawat sehingga mampu terjun ke dunia politik. Salah satu yang paling umum dilakukan adalah mendukung salah satu partai politik. Partai politik ini akan menjadi motor penggerak pembawa di kancah perpolitikan Indonesia. Banyak partai yang menawarkan posisi legislative, ada partai yang melakukan pengkaderan dari awal yang mampu menyiapkan calon-calon legislative dari embrio yang akan diberikan suntikan ideology dari partai tersebut, ada juga partai yang memberikan kesempatan kepada siapa saja yang siap untuk berjuang bersama-sama mendukung partainya dan menjadi calon legislative.

2.7 Organisasi Keperawatan
Partai Perawat Nasional Indonesia (PPNI) adalah organisasi keperawatan tingkat nasional yang merupakan wadah bagi semua perawat Indonesia, yang didirikan pada tanggal 17 Maret 1974.
Menurut catatan yang ada sebelum PPNI, telah terdapat beberapa macam organisasi keperawatan. PPNI pada awalnya terbentuk dari penggabungan beberapa organisasi keperawatan, seperti:
IPI (Ikatan Perawat Indonesia),
PPI (Persatuan Perawat Indonesia),
IGPI (Ikatan Guru Perawat Indonesia),
IPWI (Ikatan Perawat Wanita Indonesia).
Setiap orang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang syah dapat mendaftarkan diri sebagai anggota PPNI dan semua mahasiswa keperawatan yang sedang belajar dapat disebut calon anggota.
PPNI setiap 4 tahun sekali menyelenggarakan musyawarah nasional. Dalam musyawarah ini selain pengurus pusat juga hadir para pejabat dan pengurus cabang. Berbagai masalah keperawatan dibahas dalam MUNAS tersebut yang kemudian memberikan hasil yang berupa rekomendasi atau keputusan organisasi.
Untuk mempertahankan dan mengembangkan profesi, maka organisasi profesi keperawatan harus melakukan 5 fungsi, yaitu:
1.Definisi dan pengaturan professional melalui penyusunan dan penentuan standar pendidikan dan praktik bagi perawat umum dan spesialis. Pengaturan dapat ditempuh melalui pemberian izin praktik (lisensi), sertifikat, dan akreditasi. Pengaturan juga dapat dilakukan melalui adopsi kode etik dan norma perilaku (Styles, 1983).
2.Pengembangan dasar pengetahuan untuk praktik dalam komponen luas dan sempit. Sumbangan utama untuk pengembangan ilmu keperawatan telah diberikan oleh berbagai ahli teori. Tujuan utama teori keperawatan adalah netralisasi ilmu keperawatan. Tantangan bagi para perawat di masa depan adalah menggerakkan pertanyaan dan memformulasikan teori dari teori yang telah dipublikasikan ini dan kemudian melakukan uji hipotesa melalui penelitian keperawatan. Karena hanya penelitian yang dapat menentukan manfaat suatu teori, penelitian memberikan sumbangan utama bagi pengembangan pengetahuan keperawatan.
3.Transmisi nilai-nilai, norma, pengetahuan, dan keterampilan kepada anggota profesi untuk diterapkan dalam praktik. Fungsi ini dilakukan melalui pendidikan para perawat dan berbagai proses sosialisasi.
4.Komunikasi dan advokasi tentang nilai-nilai dan sumbangsih bidang garap kepada masyarakat dan konstitusi. Fungsi ini menuntut organisasi perawat untuk berbicara pada perawat dari suatu posisi kesepakatan luas. Penting bagi perawat untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyusunan UU dan kebijakan pemerintah.
5.Memperhatikan kesejahteraan umum dan social anggota. Fungsi ini dilakukan oleh organisasi perawat dimana organisasi perawat ini memberikan dukungan moral dan social bagi anggota untuk menjalankan peranannya sebagai tenaga professional dan mengatasi masalah professional anggotanya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pada akhir makalah ini kami ingin lebih menegaskan bahwasannya politik harusnya disikapi sacara serius oleh semua pihak agar perawat Indonesia ke depan lebih siap umtuk berkompetisi di era globalisasi. Semua pihak yang terkait harus segera bersinergi dalam rangka menciptakan perbaikan dan perubahan untuk menciptakan sistem yang lebih baik, pihak – pihak tersebut antara lain adalah:
Pemerintah
Swasta
Organisasi profesi ( PPNI )
Lembaga pendidikan
Perawat dan calon perawat
Ada beberapa hal yang menurut kami perlu segera dilakukan agar perbaikan keperawatan di Indonesia dapat segera tercapai, antara lain:
Pengesahan UU Pratek Keperawatan
Pembentukan Nursing Council (Nursing Board)
Reformasi system pendidikan keperawatan Indonesia
Peningkatan fungsi organisasi profesi

3.2 Saran
Fakta yang ada pada masyarakat, bahwa lulusan perawat masih belum di akui sebagai sosok profesional yang akan mampu memberikan kontribusi yang hebat dalam system pelayanan. Pandangan tersebut harus kita terima dengan lapang dada dan sekaligus sebagai pemicu adrenalin kita untuk membuktikan jati diri kita, bahwa seorang perawat adalah profesional dengan segala atribut yang menyertainya.
Hal yang harus dan terus kita lakukan adalah memperbaiki citra perawat dengan menunjukkan jati diri perawat dengan KOREK API (Komunikasi, Organisatoris, Responsif and Responsible, Efisiensi dan Efectif, Komitmen serta tunjukkan API : Aktualisasi, Produktif,dan Inovatif).







DAFTAR PUSTAKA

M. Muhammad, Siswanto. 2009. Trend dan Perkenbangan Kebutuhan Pelayanan Keperawatan dalam Persaingan Global. Dalam Simposium Nasional Keperawatan Universitas Airlangga
Nursalam. 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
Nursalam. 2007. Manajement Keperawatan. Konsep dan Praktik. Edisi 2. Jakarta. Salemba Medika
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Reformasi Keperawatan Indonesia. Website URL: http: //www.inna-ppni.or.id
Priharjo, Robert. 1995. Praktek Keperawatan Profesional: Konsep Dasar Dan Hukum. Jakarta: EGC
Menyiapkan Perawat yang Siap Berkompetisi di Era Pasar Global. Website URL: http: // io.ppi-jepang.org
Lowenberg & Dolgoff. 1988. Ethical Decisions for Social Work Practice. F.E. Peacock Publishers, Inc
Lancaster, J. 1999. Nursing Issues. In Leading and Managing Change. St. Louis: Mosby Company
Lindberg, JB., Hunter, ML., Kruszewski, AZ. 1990. Introduction to Nursing: Concept, Issues & Opportunities. Philadelphia: JB Lippincott
Bartels, JE. 2005. Educating Nurses for the 21st Century. Nursing and Health Sciences
Burns & Grove. 1999. The Practice of Nursing Research. Philadelphia: W.B. Saunders Co
Buchan, J. & Calman, L. 2007. Summary of The Global Shortage of Registered Nurses: An Overview of Issues and Action. International Council of Nurses. Dalam www.icn.ch
Chitty, K.K. 1997. Proffesional Nursing. Concepts & Challenges . 2ed. Philadelphia: W.B. Saunder Company


Magnusdottir H. 2005. Overcoming Strangeness and Communication Barriers: A Phenomenological Study of Becoming a Foreign Nurse. International Nursing Review
http://pioners07.blogspot.com/2009/02/saatnya-perawat-terjun-ke-dunia-politik.html
Potter & Perry. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. 2 edition

Praktik mandiri keperawatan

  1. Pengertian Praktik Keperawatan Mandiri

Menurut konsorsium ilmu-ilmu kesehatan (1992) praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat profesional atau ners melalui kerjasama yang bersifat kolaboratif baik dengan klien maupun tenaga kesehatan lain dalam upaya memberikan asuhan keperawatan yang holistic sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan, termasuk praktik keperawatan individu dan berkelompok. Sementara pengetahuan teoritik yang mantap dan tindakan mandiri perawat profesional dengan menggunakan pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh mencakup ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai landasan dan menggunakan proses keperawatan sebagai pendekatan dalam melakukan asuhan keperawatan (pojok keperawatan CHS, 2002).

Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-soiso-spiritual yang komprehensif, di tujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan yang di berikan berupa bantuan karena adaya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan dan kurangnya kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.


  1. Tujuan Praktik Keperawatan Mandiri

Tujuan praktik keperawatan sesuai yang dicanangkan WHO (1985) haru diupayakan pada pencegahan primer, peningkatan kesehatan pasien, keluarga dan masyarakat, perawatan diri, dan peningkatan kepercayaan diri.

Praktik keperawatan meliputi empat area yang terkait dengan kesehatan (kozier & Erb, 1999), yaitu :


      1. Peningkatan kesehatan (Health Promotion)

      2. Pencegahan penyakit

      3. Pemeliharaan kesehatan (Health Maintenance)

      4. Pemulihan kesehatan (Health Restoration), dan

      5. Perawatan pasien menjelang ajal.


Peningkatan Kesehatan

Peningkatan Kesehatan adalah kerangka aktivitas keperawatan. Kesadaran diri klien, kesadaran kesehatan, keterampilan kesehatan dan penggunaan semua sumber yang dipertimbangkan sebagai perawatan yang di berikan oleh perawat. Peningkatan kesehatan membantu masyarakat dalam mengembangkan sumber untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka. Tujuan kesehatan yang ingin diwujudkan adalah mencapai derajat kesehatan yang optimal. Fokus peningkatan kesehatan diarahkan untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan umum individu keluarga dan komunitas.

Kegiatan yang berorientasi pada peningkatan kesehatan memerlukan :

  1. Pendidikan untuk publik atau masyarakat dan individu

  2. Perundang-undangan atau kebijakan yang mendukung

  3. Hubungan interpersonal dengan klien secara langsung


Area keperawatan yang melibatkan perawat meliputi :

  1. Mendorong dan mengadakan suatu latihan fisik secara periodik dan pemantauan terhadap proses penyakit (mis.hipertensi, diabetes militus dan kanker).

  2. Memimpin pelaksanaan pendidikan kesehatan masyarakat melalui pameran kesehatan dan program kesehatan mental.

  3. Mendukung undang-undang yang ditujukan untuk pemeliharaan kesehatan dan program perlindungan anak dan.

  4. Peningkatan kondisi kesehatan dan keselamatan kerja, dll.



Pencegahan Penyakit

Aktivitas pencegahan penyakit secara objektif untuk mengurangi risiko penyakit, untuk meningkatkan kebiasaan kesehatan yang baik dan untuk mempertahankan fungsi individu secara optimal.

Aktivitas atau kegiatan yang dapat dilaksanakan antara lain sebagai berikut :

  1. Melakukan program pendidikan di rumah sakit, misalnya perawat ibu hamil, program melarang atau menghindari rokok, seminar ”mengurangi atau mencegah stres” dll.

  2. Program umum dan dasar yang dapat meningkatkan gaya hidup sehat, misalnya melakukan senam aerobik, berenang atau program kebugaran.

  3. Memberikan informasi tentang kesehatan, makanan yang sehat, olah raga dan lingkungan yang sehat melalui liflet, media massa atau media elektronik.

  4. Menyediakan pelayanan keperawatan yang dapat menjamin kesehatan ibu hamil dan kelahiran bayinya dengan sehat.

  5. Memantau tumbuh kembang bayi dan balita.

  6. Memberikan imunisasi.

  7. Melakukan pemeriksaan untuk medeteksi tekanan darah tinggi, kadar kolesterol, dan kanker.

  8. Melakukan konseling mengenai pencegahan akibat kekurangan nutrisi dan penghentian rokok.


Peran perawat dalam upaya peningkatan kesehatan meliputi hal-hal berikut :

  1. Bertindak sebagai model peran dalam berperilaku serta bergaya hidup sehat.

  2. Mengajarkan klien tentang strategi keperawatan dan usaha meningkatkan kesehatan, misalnya dengan cara perbaikann gizi, pengendalian stres, usaha untuk membina hubungan yang baik dengan sesama.

  3. Memengaruhi klien untuk meningkatkan derajat kesehatannya.

  4. Menunjukkan klien cara pemecahan masalah yang tepat dan mengambil keputusan yang efektif.

  5. Menguatkan perilaku peningkatan kesehatan pribadi dan keluarga.


Pemeliharaan Kesehatan (Health maintenance)

Kegiatan keperawatan dalam pemeliharaan kesehatan adalah kegiatan yang membantu klien memelihara status kesehatan mereka. Perawat melakukan aktivitas untuk membantu masyarakat mempertahankan status kesehatannya.

Tiga perkembangan pemeliharaan kesehatan :

  1. Mencoba mengidentifikasi gejala penyakit kronis sebelum penderita mengidapnya, misalnya melakukan pemeriksaan fisik secara teratur, untuk usia di atas 35 tahun.

  2. Meningkatkan ketertarikan terhadap masalah kesehatan sehubungan dengan perubahan struktur sosial masyarakat.

  3. Ketertarikan pada faktor lingkungan sehubungan dengan penyebab penyakit karena stres.


Pemulihan kesehatan (Health Restoration)

Pemulihan kesehatan berarti perawat membantu pasien meningkatkan kesehatan setelah pasien memiliki masalah kesehatan atau penyakit.

Kegiatan yang dilakukan dalam perbaikan kesehatan meliputi hal-hal berikut :

  1. Memberikan perawatan secara langsung pada individu yang sedang sakit, misalnya dengan memberikan perawatan fisik.

  2. Memberikan perawatan pada pasien yang mengalami gangguan kesehatan mental.

  3. Melakukan diagnostik dan pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit.

  4. Merencanakan pengajaran dan rehabilitasi pada pasien-pasien tertentu, misalnya pda pasien stroke, serangan jantung, artritis.



Perawatan Pasien Menjelang Ajal

Area praktik keperawatan ini mencakup perawat memberikan rasa nyaman dan merawat orang dalam keadaan menjelang ajal. Kegiatan dapat dilakukan di rumah sakit, rumah, dan fasilitas kesehatan lainnya.

Lingkup praktik keperawatan pada dasarnya sangat berkaitan dengan kompetensi lulusan. Pendidikan profesional keperwatan yang diharapkan mampu berperan atau mengembangkan fungsi perawat profesional baik sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik, pengelola, maupun peneliti.


  1. Unsur-unsur Praktik Keperawatan Mandiri

Walaupun praktik keperawatan itu kompleks, ia juga dinamis, selalu merespon terhadap perubahan kebutuhan kesehatan, dan terhadap kebutuhan-kebutuhan perubahan sistem pelayanan kesehatan. Menurut WHO (1996), unsur-unsur inti keperawatan tergambarkan dalam kegiatan-kegiatan berikut :

        1. Mengelola kesehatan fisik dan mental serta kesakitan, kegiatannya meliputi pengkajian, monitoring, koordinasi dan mengelola status kesehatan setiap saat bekerjasama dengan individu, keluarga maupun masyarakat. Perawatan mengkaji kesehatan klien, mendeteksi penyakit yang akut atau kronis, melakukan penelitian dan menginterpretasikannya, memilih dan memonitor interprensi tarapeutik yang cocok, dan melakukan semua ini dalam hubungan yang suportif dan carring. Perawat harus bisa memutuskan kapan klien dikelola sendiri dan kapan harus dirujuk ke profesi lain.

        2. Memonitor dan menjamin kualitas praktik pelayanan kesehatan. Tanggung jawab terhadap kegiatan-kegiatan praktik professional, seperti memonitor kemampuan sendiri, memonitor efek-efek intervensi medis, mensupervisi pekerjaan-pekerjaan personil yang kurang terampil dan berkonsultasi dengan orang yang tepat. Karena ruang lingkup dan kompleksitas praktik keperawatan maka diperlukan keterampilan-keterampilan dan pemecahan masalah, berfikir kritis serta bertinfak etis dan legal terhadap kualitas pelayanan yang diberikan dan tidak diskriminatif.

        3. Memberikan bantuan dan caring. Caring adalah bagian yang terpenting dalam praktik keperawatan. Bantuan termasuk menciptakan suasana penyembuhan, memberikan kenyamanan membangun hubungan dengan klien melalui asuhan keperawatan. Peran membantu seharusnya menjamin partisipasi penuh dari klien dalam perencanaan asuhan, pencegahan, dan treatmen dan asuhan yang diberikan. Perawat memberikan informasi penting mengenai proses penyakit, gejala-gejalanya, dan efek samping pengobatan.

        4. Penyuluhan-penyuluhan kepada individu, keluarga maupun masyarakat mengenai masalah-masalah kesehatan adalah fungsi penting dalam keperawatan.

        5. Mengorganisir dan mengola sistem pelayanan kesehatan. Perawat berpartisipasi dalam membentuk dan mengola sistem pelayanan kesehatan, ini termasuk menjamin kebutuhan klien terpenuhi, mengatasi kekurangan staf, menghadapi birokrasi, membangun dan memelihara tim terapeutik, dan mendapatkan asuhan spesialis untuk pasien. Perawat bekerja intersektoral dengan rumah sakit, puskesmas, institusi pelayanan kesehatan lain, dan sekolah. Profesi keperawatan harus mempengaruhi strategi kebijaksanaan kesehatan, baik tingkat local, regional maupun internasional, aktif terlibat dalam program perencanaan, pengalokasian dana, mengumpulkan, menganalisis dan memberikan informasi kepada semua level.


2.4 Praktik Keperawatan di Rumah (Home Versing Practice / Home Care)

Di beberapa negara maju, “home care” (perawatan di rumah), bukan merupakan konsep yang baru tapi telah dikembangkan oleh William Rathbon sejak tahun 1859 yang dia namakan perawatan di rumah dalam bentuk kunjungan tenaga keperawatan ke rumah untuk mengobati klien yang sakit dan tidak bersedia dirawat di rumah sakit. Dari beberapa literatur pengertian “home care” adalah perawatan di rumah merupakan lanjutan asuhan keperawatan di rumah sakit yang sakit termasuk dalam rencana pemulangan (discharge planning) dan dapat dilaksanakan oleh perawat dari rumah sakit semula, oleh perawat komunitas dimana pasien berada, atau tim keperawatan khusus yang menangani perawatan di rumah. Menurut Warola, 1980 dalam pengembangan Model Praktik Mandiri Keperawatan di rumah yang disusun oleh PPNI dan Depkes, home care adalah pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien individu dan keluarga, direncanakan, dikoordinasikan, disediakan oleh pemberi pelayanan yang diorganisir untuk memberi pelayanan di rumah melalui staf atau pengaturan berdasarkan kerja (kotrak).


Mekanisme Perawatan Kesehatan Di Rumah

Pasien atau klien yang memperoleh pelayanan keperwatan di rumah dapat merupakan rujukan dari klinik rawat jalan, unit rawat inap rumah sakit, maupun puskesmas. Namun pasien atau klien dapat langsung menghubungi agensi pelayanan keperawatan di rumah atau praktik keperawatan perorangan untuk memperoleh pelayanan.


Mekanisme yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

  1. Pasien atau klien pasca rawat inap atau rawat jalan harus diperiksa terlebih dahulu oleh dokter untuk menentukan apakah secara medis layak untuk di rawat di rumah atau tidak.

  2. Selanjutnya apabila dokter telah menetapkan bahwa klien layak dirawat di rumah, maka di lakukan pengkajian oleh koordinator kasus yang merupakan staf dari pengelola atau agensi perawatan kesehatan dirumah, kemudia bersama-sama klien dan keluarga, akan menentukan masalahnya, dan membuat perencanaan, membuat keputusan, membuat kesepakatan mengenai pelayanan apa yang akan diterima oleh klien, kesepakatan juga mencakup jenis pelayanan, jenis peralatan, dan jenis sistem pembayaran, serta jangka waktu pelayanan.

  3. Selanjutnya klien akan menerima pelayanan dari pelaksanaan keperawatan dirumah baik dari pelaksana pelayanan yang dikontrak atau pelaksana yang direkrut oleh pengelola perawatan di rumah. Pelayanan dikoordinir dan dikendalikan oleh koordinator kasus, setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh tenaga pelaksana pelayanan harus diketahui oleh koordinator kasus.

  4. Secara periodik koordinator kasus akan melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan yang diberikan apakah sudah sesuai dengan kesepakatan.

Persayaratan pasien atau klien yang menerima pelayanan perawatan dirumah :

  1. Mempunyai keluarga atau pihak lain yang bertanggung jawab atau menjadi pendamping bagi klien dalam berinteraksi dengan pengelola.

  2. Bersedia menandatangai persetujuan setelah diberikan informasi (Informed Consent).

  3. Bersedia melakukan perjanjian kerja dengan pengelola perawatan kesehatan dirumah untuk memenuhi kewajiban, tanggung jawab, dan haknya dalam menerima pelayanan.


Lingkup Praktik Keperawatan Di Rumah.

Lingkup praktik keperawatan mendiri meliputi asuhan keperawatan perinatal, asuhan keperawatan neonantal, asuhan keperawatan anak, asuhan keperawatan dewasa, dan asuhan keperawatan maternitas, asuhan keperawatan jiwa dilaksanakan sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawabnya. Keperawatan yang dapat dilakukan dengan :

  1. Melakukan keperawatan langsung (direct care) yang meliputi pengkajian bio-psiko-sosio-spiritual dengan pemeriksaan fisik secara langsung, melakukan observasi, dan wawancara langsung, menentukan masalah keperawatan, membuat perencanaan, dan melaksanakan tindakan keperawatan yang memerlukan ketrampilan tertentu untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang menyimpang, baik tindakan-tindakan keperawatan atau tindakan-tindakan pelimpahan wewenang (terapi medis), memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan dan melakukan evaluasi.

  2. Mendokumentasikan setiap tindakan pelayanan yang di berikan kepada klien, dokumentasi ini diperlukan sebagai pertanggungjawaban dan tanggung gugat untuk perkara hukum dan sebagai bukti untuk jasa pelayanan keperawatan yang diberikan.

  3. Melakukan koordinasi dengan tim yang lain kalau praktik dilakukan secara berkelompok.

  4. Sebagai pembela atau pendukung (advokat) klien dalam memenuhi kebutuhan asuhan keperawatan klien di rumah dan bila diperlukan untuk tindak lanjut kerumah sakit dan memastikan terapi yang klien dapatkan sesuai dengan standart dan pembiayaan terhadap klien sesuai dengan pelayanan atau asuhan yang diterima oleh klien.

  5. Menentukan frekwensi dan lamanya keperawatan kesehatan di rumah dilakukan, mencakup berapa sering dan berapa lama kunjungan harus di lakukan.


Jenis Pelayanan Keperawatan Di Rumah

Jenis pelayanan keperawatan di rumah di bagi tiga kategori yaitu :

      1. Keperawatan klien yang sakit di rumah merupakan jenis yang paling banyak di laksanakan pada pelayanan keperawatan di rumah sesuai dengan alasan kenapa perlu di rawat di rumah. Individu yang sakit memerlukan asuhan keperawatan untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah tingkat keparahan sehingga tidak perlu dirawat di rumah sakit.

      2. Pelayanan atau asuhan kesehatan masyarakat yang fokusnya pada pomosi dan prevensi. Pelayanannya mencakup mempersiapkan seorang ibu bagaimana bayinya setelah melahirkan, pemeriksaan berkala tumbuh kembang anak, mengajarkan lansia beradaptasi terhadap proses menua, serta tentang diit mereka.

      3. Pelayanan atau asuhan spesialistik yang mencakup pelayanan pada penyakit-penyakit terminal misalnya kanker, penyakit-penyakit kronis seperti diabet, stroke, hipertensi, masalah-masalah kejiwaan, dan asuhan pada anak.