Rabu, 18 Maret 2009

Konsep peran dan status

Peran Politik Etnis Tionghua

Ketika pada tahun 1293 kaisar Kubilai Khan dari dinasti Yuan (1280-1367) memerintahkan pasukannya untuk menyerbu pulau Jawa dan memberi pelajaran kepada raja Kartanegara dari kerajaan Singosari yang dianggap membangkang, ternyata di sepanjang pesisir utara pulau Jawa telah ditemukan koloni-koloni pemukiman etnis Tionghoa. Orang-orang Tionghoa ini yang berasal dari propinsi Hokkian di daratan Tiongkok, pada umumnya adalah para pedagang perantara, petani dan tukang-tukang kerajinan yang hidup dengan damai bersama penduduk setempat. Kemudian sebagian prajurit pasukan Kubilai Khan yang terdiri dari orang-orang Tionghoa yang direkrut dari propinsi Hokkian tidak mau kembali ke daratan Tiongkok. Mereka takut menghadapi ancaman hukuman, karena pasukannya tertipu masuk perangkap Raden Wijaya dan berhasil dihancurkan. Sebelumnya Raden Wijaya dengan bantuan pasukan Kubilai Khan berhasil mengalahkan pasukan Singosari dan setelah itu ia mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu banyak anggota pasukan Kubilai Khan yang takut menghadapi pelayaran kembali ke daratan Tiongkok yang penuh bahaya alam dan perompak. Akhirnya mereka memilih untuk menetap di pesisir utara pulau Jawa dan menikah dengan perempuan-perempuan setempat. Merekalah yang mengajarkan cara-cara membuat bata, genting, gerabah dan membangun galangan kapal perang serta teknologi mesiu dan meriam-meriam berukuran besar dan panjang.

Pada abad ke-15 di masa dinasti Ming (1368-1643), orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di pulau Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Kong pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang. Selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit, ia juga bertujuan menyebarkan agama Islam. Selain Laksamana Cheng Ho, sebagian besar dari wali songo yang berjasa menyebarkan agama Islam di pesisir pulau Jawa dan mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak berasal dari etnis Tionghoa. Para wali tersebut antara lain Sunan Bonang (Bong Ang), Sunan Kalijaga (Gan Si Cang), Sunan Ngampel (Bong Swi Hoo), Sunan Gunung Jati (Toh A Bo) dllnya konon berasal dari Champa (Kamboja/Vietnam), Manila dan Tiongkok. Demikian juga Raden Patah alias Jin Bun (Cek Ko Po), sultan pertama kerajaan Islam Demak, adalah putera Kung Ta Bu Mi (Kertabumi), raja Majapahit (Brawijaya V) yang menikah dengan puteri Cina, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (Babah Bantong).

Ketika pada tanggal 23 Juni 1596 armada Belanda di bawah pimpinan Cornelis Houtman berhasil mendarat di pelabuhan Banten, ia tercengang karena menjumpai koloni Tionghoa yang mempunyai hubungan yang harmonis dengan penduduk dan penguasa setempat. Selain di Banten, orang-orang Belanda dan kemudian orang-orang Inggris juga menjumpai koloni-koloni Tionghoa di kebanyakan bandar-bandar Asia Tenggara seperti di Hoi An, Patani, Phnom Penh dan Manila. Pada tahun 1642 di Hoi An terdapat empat-lima ribu orang Tionghoa dan di Banten pada tahun 1600 terdapat tiga ribu orang Tionghoa.

Pada tahun 1611 Jan Pieterszoon Coen diutus Gubernur Jenderal VOC Pieter Both untuk membeli hasil bumi, terutama lada di Banten, ternyata ia harus berurusan dengan seorang pedagang Tionghoa kepercayaan Sultan yang bernama Souw Beng Kong (Bencon). Souw Beng Kong adalah seorang pedagang Tionghoa yang sangat berpengaruh dan mempunyai perkebunan lada yang luas sekali. Ia sangat dihormati dan dipercaya penuh oleh Sultan dan para petani Banten. Setiap pedagang asing seperti Portugis, Inggris dan Belanda yang ingin membeli hasil bumi dari petani Banten harus melakukan negosiasi harga dan lain-lainnya dengan Souw Beng Kong. Kemudian Souw Beng Kong coba dipengaruhi Jan Piterszoon Coen, tetapi tidak berhasil karena ia merasa Coen terlampau menekannya. Sebaliknya sultan Banten merasa puas dengan keberadaan Souw Beng Kong dan orang-orang Tionghoa lainnya, karena orang-orang Tionghoa inilah yang banyak mengajarkan teknologi baru, terutama di bidang pertanian.Mereka mengajarkan cara menanam padi di sawah yang berpetak-petak dengan mempergunakan pematang dan membajak serta mengairinya, karena sebelumnya mereka hanya menanam padi di ladang yang sudah tentu hasilnya kurang memuaskan. Namun ketika Coen pada tahun 1619 berhasil merebut Jayakarta dan berniat membangunnya menjadi Batavia, sebuah bandar yang ramai untuk menyaingi Banten, ia berhasil membujuk Souw Beng Kong untuk membawa orang-orang Tionghoa hijrah ke Batavia. Ia kemudian diberi gelar kapitein (titulair) Tionghoa pertama agar dapat memimpin dan mengarahkan orang-orang Tionghoa di Batavia serta memindahkan pendaratan jung-jung yang membawa barang dagangan dari Tiongkok ke Batavia. Berkat bantuan Souw Beng Kong dan orang-orang Tionghoa lah, Batavia berhasil dibangun menjadi Bandar yang ramai dan menjadi pusat perdagangan yang penting di Asia Tenggara. Perlu dicatat juga jasa Phoa Beng Gan (Binggam) yang atas gagasan dan prakarsanya serta dukungan dana masyarakat Tionghoa
Batavia, berhasil dibangun kanal yang membelah daerah Molenvliet (sekarang Jl.Gajah Mada dan Hayam Wuruk). Pembangunan kanal tersebut kemudian dilanjutkan untuk disambungkan dengan kali Ciliwung dengan membelah daerah tersebut menjadi Noordwijk (Jl.Djuanda) dan Rijswijk (Jl.Veteran), untuk menghindari banjir yang selalu menimpa kota Batavia.

Pada masa itu pulalah orang-orang Tionghoa yang berdiam di luar tembok kota Batavia mulai mengembangkan perkebunan tebu dan industri gula. Penggilingan tebu dilakukan dengan cara sangat sederhana yaitu dengan menaruh dua tabung kayu yang diputar oleh seekor sapi dengan perantaraan sebuah sistim roda gigi serta sebuah poros sepanjang 4.5 meter. Kedua tabung tersebut tegak lurus, kemudian batang tebu dimasukkan ke dalamnya dan diperas dua kali untuk mendapatkan sebanyak mungkin sarinya. Sari tebu tersebut kemudian dipanaskan untuk dijadikan gula. Karena kekurangan bahan bakar untuk tungku, maka sejak tahun 1815 industri gula tersebut dipindahkan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pada tahun 1740 di Batavia terjadi pembunuhan massal orang-orang Tionghoa yang dilakukan tentara VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier. Lebih dari 10.000 orang Tionghoa menjadi korban pembantaian yang di luar peri kemanusiaan. Sebagai kelanjutan dari peristiwa tersebut, terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa yang bersekutu dengan orang-orang Jawa melawan pasukan VOC di Jawa Tengah (1740-1743). Kalau saja tidak terjadi pengkhianatan Sunan Paku Buwono II dari Mataram dan bantuan Pangeran Adipati Cakraningrat IV dari Madura, pasukan VOC yang sudah terdesak dan terkurung di kota Semarang berhasil diusir dari Jawa Tengah dan besar kemungkinan dari seluruh pulau Jawa.


Takdir Partai Politik Status Quo

imageSeluruh manusia di jagad ini setidaknya pernah mendengar istilah NAZI. Ya, ini merupakan sebuah nama yang amat populer yang merujuk pada nama sebuah partai yang sangat berkuasa di Jerman era Perang Dunia II dengan Adolf Hitler, seorang mantan Kopral, sebagai tokoh tertingginya.

NAZI sebenarnya memiliki nama sebagai Partai Nasional Sosialisme (Nationalsozialismus), merujuk pada sebuah ideologi totalitarian. Dalam bahasa Jerman, nama resminya adalah Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP) yang memiliki arti lebih kurang sebagai Partai Buruh Nasionalis Sosialis Jerman. Kata ini juga merujuk pada kebijakan yang dianut oleh pemerintahan Jerman pada tahun 1933—1945, sebuah periode yang kemudian dikenal sebagai Jerman Nazi atau Third Reich. Istilah NAZI bisa jadi berasal dari paham nasionalisme Jerman (Nationalsozialismus). Sampai hari ini orang-orang yang berhaluan ekstrim kanan dan rasisme sering disebut sebagai Neo-Nazi. ........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar