Rabu, 18 Maret 2009

Kontroversi pengobatan alternatif

Kontroversi Pengobatan Alternatif

Aborsi, antara sisi medis dan sisi moral

Sudah banyak artikel, buku, seminar yang mengulas panjang lebar mengenai aborsi, dua pendapat pro dan kontra tidak pernah ada habisnya dalam menyikapi aborsi. Mereka yang pro mengatakan : adalah hak bagi si “calon ibu” untuk menentukan apakah ia akan meneruskan mengandung janinnya (dari hasil apapun; baik pernikahan resmi, hamil di luar pernikahan maupun korban perkosaan) dan mereka yang kontra berpendapat : adalah bukan hak bagi si “calon ibu” untuk menentukan kehidupan janin yang dikandungnya, hanya Tuhan-lah yang berhak menentukannya.

Terlepas dari apapun alasan yang diajukan, entah itu demi kebaikan “si ibu muda” yang belum siap menjadi orangtua maupun karena faktor ekonomi yang tidak memungkinkan untuk membiayai kehidupan ‘sang anak’ kelak, aborsi tetaplah merupakan suatu pembunuhan terhadap suatu kehidupan manusia. Yang menjadi kontroversi adalah sejak usia kehamilan berapakah janin dalam kandungan layak disebut “memiliki” hidup sebagai suatu pribadi? Berbagai pandangan yang berusaha menyoroti kontroversi tersebut akan diutarakan lebih lanjut. Artikel ini akan mengulas dari dua sudut pandang yang berbeda, yakni pandangan secara medis dan secara moral.
Dalam dunia medis, abortus secara garis besar dibedakan menjadi dua macam, yakni abortus spontan dan abortus provokatus. Abortus provokatus selanjutnya dibedakan menjadi abortus provokatus terapeutik dan abortus provokatus kriminalis.
Abortus spontan penyebabnya dapat karena faktor maternal (ibu) seperti infeksi, penyakit kronik yang melemahkan ibu, pengaruh hormonal ibu, kekurangan gizi pada ibu (malnutrisi), kelelahan fisik, trauma psikologis, kelainan rahim, kelainan sistem pertahanan (sistem imun). Selain faktor maternal, faktor janin sendiri berperanan, yakni janin yang mengalami kelainan kromosom, sehingga janin tak dapat tumbuh dengan baik dan akhirnya meninggal dalam kandungan. Pendek kata, abortus spontan terjadi diluar campur tangan manusia.

Abortus provokatus adalah abortus yang terjadi karena campur tangan manusia, dibedakan menjadi dua yaitu terapeutik/elektif dan kriminalis. Abortus terapeutik dapat dilakukan dengan indikasi medis berikut:
1. Bila kelanjutan kehamilan dapat mengancam jiwa ibu atau menjadi gangguan yang serius bagi kesehatan ibu.
2. Bila kelanjutan kehamilan kemungkinan besar akan menghasilkan persalinan anak dengan cacat bawaan berat atau cacat mental.

Legalitas abortus provokatus terapeutik diatur dalam UU No 23/1992 tentang Kesehatan.
Abortus kriminalis merupakan tindakan pengakhiran kehamilan tanpa indikasi medis, yang lazim dikenal dengan sebutan aborsi/pengguguran. WHO memperkirakan per tahun terjadi sekitar 750.000 sampai 1,5 juta kasus abortus spontan maupun abortus provokatus. Namun jumlah ini bisa jauh lebih besar lagi mengingat kejadian abortus provokatus kriminalis yang tidak mungkin dilaporkan.

Abortus provokatus baik bertujuan terapeutik maupun abortus kriminalis tidaklah tanpa resiko yang sedikit kendati dilakukan oleh tenaga medis profesional sekalipun, seperti dokter spesialis kebidanan dan kandungan misalnya. Resiko akan menjadi semakin besar jika abortus, khususnya abortus kriminalis dilakukan bukan oleh tenaga medis profesional, seperti dilakukan oleh dukun ataupun dilakukan sendiri dengan cara-cara yang tidak aman seperti memasukan alat-alat tertentu ataupun zat kimia tertentu yang tidak steril dan bersifat racun ke dalam vagina.

Resiko dari tindakan abortus provokatus tidak hanya mencakup resiko jangka pendek melainkan juga resiko jangka panjang. Resiko jangka pendek yang tersering adalah terjadinya perdarahan yang dapat mengancam jiwa. Resiko lain adalah syok septik akibat tindakan abortus yang tidak steril yang sering berakhir dengan kematian dan juga kegagalan ginjal sebagai penyerta syok ataupun yang ditimbulkan karena penggunaan senyawa-senyawa racun yang dipakai untuk menimbulkan abortus, seperti lisol, sabun, phisohex.

Resiko jangka panjang yang akan dihadapi oleh seseorang yang melakukan abortus provokatus adalah kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik (kehamilan di luar tempat yang semestinya) pada kehamilan berikutnya akibat kerusakan pada lapisan dalam rahim (endometrium) setelah dilakukan dilatasi (pelebaran secara paksa leher rahim dengan alat khusus) dan kuretase (pengerokan endometrium dengan alat khusus) pada tindakan abortus. Kerusakan pada endometrium yang diakibatkan dilatasi dan kuretase ini juga meningkatkan resiko terjadinya placenta previa (letak plasenta tidak pada tempat semestinya sehingga mengganggu proses persalinan), abortus spontan pada kehamilan berikutnya, bayi berat badan lahir rendah sampai kemungkinan terjadinya kemandulan akibat kerusakan yang luas pada endometrium.

Seorang peneliti, Hogue (1986) memberikan banyak bukti bahwa dilatasi kuat pada leher rahim (cervix uteri) dengan prosedur apapun, pada usia kehamilan berapapun (baik trimester satu ataupun trimester kedua) akan meningkatkan resiko pada kehamilan berikutnya seperti yang telah disebutkan diatas. Adanya resiko placenta previa dan kehamilan ektopik pada kehamilan berikutnya berarti meningkatkan resiko terjadinya perdarahan yang hebat pula, seperti diketahui bahwa angka kematian ibu hamil di Indonesia terbanyak disebabkan karena perdarahan, sehingga melakukan abortus provokatus akan meningkatkan resiko kematian akibat perdarahan baik pada saat dilakukan abortus maupun kelak jika yang bersangkutan hamil kembali.
Bagaimana agama menyoroti soal aborsi ini? Dalam norma agama (mana pun) tindakan aborsi dilarang. Yang menjadi persoalan adalah adakah batas usia kehamilan tertentu dimana tindakan aborsi masih boleh dilakukan?

Menurut hukum Islam (fiqih), hukum dasar aborsi adalah dilarang atau haram. Namun hukum dasar tersebut dapat berubah apabila ada sebab-sebab yang dapat dibenarkan secara syar’i. Dalam Islam sendiri ada beberapa pandangan mengenai sampai usia kehamilan berapa aborsi masih boleh dilakukan.

Dalam Islam ada yang memakai batas 120 hari usia kehamilan, setelah usia 120 hari sama sekali dilarang, kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu. Batas 120 hari didasarkan pada hadis empat puluh, dimana Nabi Muhammad S.A.W memberitahukan dalam proses terciptanya manusia sel telur dan sel sperma tersimpan selama 40 hari dalam rahim sebagai nuthfah (mani), selama 40 hari berikutnya sebagai alaqah (segumpal darah), kemudian 40 hari berikutnya sebagai mudhghah (segumpal daging), setelah itu proses khalqan aakhar (pemberian nyawa) terjadi. Al Quran dalam surat Al-Mukminun ayat 12-14 memberikan informasi yang serupa.

Menurut Mazhab Hanafi, aborsi sebelum kehamilan berusia 120 hari diizinkan jika ada alasan yang dibenarkan hukum Islam. Indikasinya antara lain kondisi kesehatan ibu sangat buruk, kehamilan dan persalinan beresiko tinggi, kehamilan yang terjadi saat perempuan masih menyusui bayi sementara ayah si bayi tidak mempunyai pendapatan yang tetap untuk membeli susu pengganti ASI. Jika tidak ada alasan-alasan tersebut maka hukumnya jika melakukan aborsi menjadi makruh. Penganut mazhab Syafi’i terpecah tiga pendapat, sebagian seperti Ibn al-Imad dan al Ghazali melarang aborsi karena termasuk kejahatan terhadap makhluk hidup. Muhammad ibn Abi Said mengizinkan dalam batas 80 hari, alasannya karena janin masih dalam bentuk nuthfah dan alaqah. Dan yang lainnya lagi membolehkan aborsi secara mutlak sebelum kehamilan berusia 120 hari. Sebagian besar pengikut mazhab Maliki kecuali al Lakhim tidak memperbolehkan bahkan mengharamkan membuang produk kehamilan, walaupun sebelum 40 hari. Alasannya, bila air mani telah tersimpan dalam rahim berarti sudah ada proses kehidupan. (Maria Ulfah Anshor;Kompas, 2 Juli 2001)

Dalam agama Kristen, khususnya Katolik, tradisi Gereja amat jelas. Mulai dari abad-abad pertama sejarahnya, Gereja membela hidup anak di dalam kandungan. Kapankah kehidupan dinyatakan ada? Tidaklah mudah untuk menjawab persoalan ini, namun Gereja Katolik berpendapat semenjak terjadinya fertilisasi (pertemuan antara sel telur dan sel sperma) itulah kehidupan dimulai. Gereja Katolik menuntut supaya hidup manusia dilindungi seluas-luasnya sejak saat fertilisasi, justru karena tidak mungkin ditetapkan dengan tegas kapan mulainya hidup pribadi manusia. Semenjak fertilisasi, zigot yang terbentuk dikatakan memiliki martabat yang sama seperti manusia yang sudah lahir. Karena martabat itu,manusia mempunyai hak-hak asasi dan dapat mempunyai segala hak sipil dan gerejawi, sebab dengan kelahirannya hidup manusia sendiri tidak berubah, hanya lingkungan hidupnya menjadi lain. Sebelum lahir, dalam tingkatan janin apapun, ia tetaplah suatu individu yang unik, yang mewakili seluruh “kemanusiannya” dan oleh sebab itu patut dihargai martabatnya.

Sebab itu, moral Katolik memegang teguh keyakinan, bahwa begitu hidup pribadi manusia dimulai, pembunuhan sebelum kelahiran dinilai sama seperti pembunuhan setelah kelahiran. Hidup manusia adalah nilai paling fundamental, namun bukanlah nilai yang paling tinggi. Hidup manusia dapat dikurbankan demi nilai yang lebih tinggi dan yang lebih mendesak. Maka, banyak ahli teologi moral Katolik yang berpendapat bahwa kalau seorang ibu yang tidak mungkin diselamatkan bila kehamilannya berlangsung terus dan kalau anak dalam kandungan oleh karena penyakit sang ibu juga tidak mampu hidup sendiri diluar kandungan, dalam konflik itu hidup ibu yang mesti berlangsung terus harus diselamatkan biarpun karenanya hidup anak tidak mungkin diselamatkan. Yang terpenting adalah kehidupan harus dipelihara, jika tidak mungkin memelihara kehidupan ibu dan anak, sekurang-kurangnya hidup satu (ibu)
terus berjalan.

Bayi yang diperkirakan mengalami kecacatan fisik ataupun mental yang berat yang diperkirakan tidak mungkin hidup sekalipun setelah dilahirkan, yang secara medis memenuhi indikasi untuk dilakukan abortus provokatus terapeutik tetaplah tidak diijinkan oleh Gereja Katolik untuk diaborsi, selama keberadaan bayi tersebut tidak membahayakan nyawa si ibu. Alasannya adalah Allah yang menciptakan kehidupan janin itu ,sehingga manusia tidak berkuasa sedikitpun atas hidup-matinya janin itu dan janin yang cacat pun tetap memiliki hak hidup yang sama dan memiliki martabat yang sama dengan janin yang tidak cacat.

Bagaimanakah dengan kehamilan di luar nikah yang dapat menjadi beban psikis bagi si ibu dan keluarganya? Gereja Katolik tetap berpendapat bahwa konflik semacam itu tidak dapat diselesaikan dengan pengguguran. Dalam hal ini harus dituntut sikap wajar dan manusiawi dari lingkungan. Kewajiban keluarga dan lingkungan membantunya memberikan bantuan sosial dan konseling bukan malah menghukumnya, meskipun tindakannya jelas salah.

Jelas disini bahwa Gereja Katolik sangat tegas melarang tindakan aborsi semenjak terjadinya fertilisasi atau pertemuan antara sel telur dan sel sperma, dan Kitab Hukum Kanonik mengenakan hukuman ekskomunikasi (dikeluarkan sebagai anggota Gereja) pada setiap orang Katolik yang aktif terlibat dalam “mengusahakan pengguguran kandungan yang berhasil” (KHK kan. 1398)

Demikian kerasnya Gereja Katolik melarang setiap usaha “penghilangan” makhluk hidup semenjak terjadinya fertilisasi sehingga Gereja Katolik pun dengan tegas melarang setiap bentuk kontrasepsi yang dapat membunuh kehidupan yang telah terjadi dengan cara menghalangi proses nidasi (perlekatan janin pada rahim). Hal ini dikarenakan sebelum terjadi nidasi, sudah terlebih dahulu ada kehidupan, karena nidasi terjadi sekitar 5 hari setelah terbentuknnya zigot yang merupakan hasil peleburan sel telur dan sel sperma. Kontrasepsi yang diketahui dapat menghalangi nidasi janin pada dinding rahim adalah Alat Kontrasepsi dalam Rahim (spiral), dan alat KB hormonal seperti : pil KB, KB suntik, KB susuk. Dr. David Kingsley,MB,ChB,Cert NFP dari organisasi Respect Life, mengutarakan bahwa pil KB (dan juga alat kontrasepsi hormonal lainnya) bekerja bukan hanya sekedar menghambat ovulasi, namun lebih dari itu, pil tersebut bersifat abortifacient, artinya menggugurkan setiap kehidupan yang telah terjadi dengan cara menghambat terjadinya nidasi. Karenanya dari sisi moral, khususnya moral Katolik, penggunaan pil KB untuk tujuan kontrasepsi tidaklah dapat dibenarkan. Lebih lanjut Dr. David juga menyebutkan efek samping yang ditimbulkan akibat penggunaan pil KB seperti kanker payudara, kanker leher rahim, penyakit jantung koroner, stroke, trombosis pembuluh darah dan sebagainya.

Sebagai penutup, penulis berpendapat bahwa apapun alasannya, selain demi mempertahankan hidup ibu, aborsi tidaklah dapat dilakukan. Alasannya adalah ketidakpastian kapankah tepatnya kehidupan sebagai suatu pribadi itu dimulai, sehingga melindungi “kehidupan” seawal mungkin yakni semenjak terjadinya fertilisasi amatlah bijak. Melakukan aborsi dengan alasan untuk kebaikan “si ibu” yang belum siap menjadi orangtua tidaklah dapat dibenarkan , melenyapkan anak dalam kandungannya tidaklah serta merta menyelesaikan masalah dan juga tidak menjamin masa depan “si ibu” yang lebih baik, tapi justru dapat menimbulan masalah baru. Masalah tersebut bisa berupa beban psikologis karena terus-menerus dihantui rasa bersalah akibat membunuh bayi dalam kandungannya sendiri yang akan menyebabkan pasien menjadi terus merasa tertekan sehingga akhirnya menjadi depresi dan juga masalah yang berhubungan dengan resiko jangka panjang dari tindakan abortus provokatus seperti yang telah disebutkan di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar