Rabu, 18 Maret 2009

Penyimpangan sosial

Penyimpangan Sosial
Demokrasi Indonesia

Disamping hal-hal yang berkenaan dengan asas, visi, misi, serta dasar negara,
dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara berbentuk
Republik yang berkedaulatan rakyat, yang berarti bahwa dalam keseluruhan
penyelenggaraan negara ini harus merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat.

Penggunaan istilah kedaulatan rakyat di sini merupakan penegasan tentang
pengertian demokrasi yang sering dimaknakan sekedar sebagai kebebasan individu.
Penegasan tersebut memberikan arah bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara harus selalu bertumpu pada kedaulatan rakyat. Rakyat
harus menjadi subyek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya
rakyat harus memiliki keberdayaan yang penuh, sehingga dapat menegakkan
kedaulatannya. Dan dalam hubungan ini pulalah pemerintah diwajibkan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, Pancasila telah memberikan rumusan yang
jelas, yaitu : “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusya- waratan/perwakilan”.

Dalam sistem ini, demokrasi tidak hanya diartikan sebagai sebuah prosedur dan
juga bukan tujuan. Demokrasi adalah sebuah substansi, yaitu tegaknya keberdayaan
dan kedaulatan rakyat. Substansi tersebut diwujudkan ke dalam sebuah sistem yang
merupakan alat bagi rakyat dalam menciptakan kesejahteraannya. Rakyat
benar-benar ditempatkan sebagai subyek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam fungsi tersebut rakyat mempunyai dua peran aktif, yaitu:
· melakukan interaksi untuk melahirkan pimpinan yang berfungsi mewakili
komunitasnya;
· menyalurkan aspirasi melalui wakil(2) yang telah dilahirkannya; dengan
demikian setiap pimpinan mempunyai kewajiban untuk mengemban aspirasi rakyat
yang diwakilinya.

Dalam struktur kenegaraan, kedaulatan rakyat itu dijelmakan menjadi Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Dengan adanya
Lembaga Tertinggi Negara yang terdiri dari sejumlah orang yang kewenangannya
dibatasi oleh UUD tersebut, apabila dilaksanakan dengan benar, dijamin tidak
akan lahir kekuasaan otoriter.

Untuk membentuk MPR, disusunlah infrastruktur yang terdiri dari partai-partai
politik. Wakil-wakil partai politik ini akan terhimpun dalam Dewan Perwakilan
Rakyat yang seluruh anggotanya juga akan menjadi anggota MPR.

Namun disadari bahwa partai-partai politik tidak akan mampu menyerap seluruh
aspirasi rakyat. Oleh karena itu agar aspirasi politik yang bersifat umum itu
dapat diimplementasikan dengan baik, harus ada orientasi kewilayahan dan juga
terhadap fungsi-fungsi dalam kehidupan sosial. Maka diperlukan wakil-wakil yang
akan membawakan aspirasi kewilayahan yang meliputi aspek sosial dan budaya,
serta fungsi-fungsi dalam kehidupan sosial.

Yang dimaksud dengan fungsi-fungsi kehidupan sosial adalah kebutuhan/kepentingan
permanen masyarakat, misalnya yang menyangkut produksi, distribusi, pendidikan,
kerohanian, kepemudaan, pertahanan dan keamanan, dan sebagainya.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka disamping ada wakil-wakil yang berasal dari
partai politik, untuk membentuk MPR yang dapat menyerap aspirasi rakyat secara
keseluruhan perlu dilengkapi dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan
(fungsional). Unsur-unsur yang termasuk Golongan Fungsional (bukan profesional,
juga bukan minoritas) antara lain buruh, tani, nelayan, cendekiawan, rohaniwan,
TNI/Polri, pemuda, budayawan dan sebagainya.
Melalui permusyawaratan rakyat itulah demokrasi Indonesia diselenggarakan.

Pengingkaran
Setelah kita telusuri isi dan jiwa Pembukaan UUD 1945, akan dapat dengan jelas
kita lihat terjadinya penyimpangan-penyimpangan sejak awal Proklamasi
Kemerdekaan hingga dewasa ini. Benih pengingkaran yang tertebar dalam berbagai
penyimpangan tersebut mendapat lahan subur pada dataran yang dibangun Orde Baru.

Apa yang dilakukan oleh Orde Baru adalah salah satu bentuk pengingkaran yang
masih segar hidup dalam ingatan kita. Dengan semboyan “melaksanakan Pancasila
dan UUD ’45 secara murni dan konsekuen” Orde Baru telah melakukan penyimpangan
yang menyesatkan. Penyimpangan itu bersifat menyeluruh, mulai dari cara
berpikir, moralitas sampai pola berkonsumsi, yang dilaksanakan melalui penipuan
sejarah, pendistorsian Pancasila, pengembangan pola berpikir pragmatisme dan
pola hidup hedonistik, pembangunan kekuasaan otoriter dan represif, pembangunan
konglomerasi, sampai dengan penyerahan kedaulatan nasional kepada kapitalisme
internasional. Kesadaran politik rakyat dihancurkan melalui floating mass,
sedangkan terhadap mahasiswa dilaksanakan melalui NKK/BKK. Selama lebih dari
tiga puluh tahun bangsa Indonesia telah mengalami character assassination
(pembunuhan watak – penghancuran karakter).

Dewasa ini, di tengah keadaan bangsa Indonesia masih terbenam dalam
keterpurukan sebagai akibat dari kebijakan Orba dan penerusnya, para floating
elite yang lahir sebagai kelanjutan dari dilaksanakannya floating mass, telah
mengobok-obok UUD 1945, yang ujungnya adalah de-ideologisasi.

Kalau Orde Baru telah mendistorsi Pancasila melalui P4, dewasa ini sisa-sisa
Orba bersama para petualang (oportunis) dan profiteur (orang yang hanya mencari
keuntungan) telah merombak pasal-pasal UUD 1945 dan menghapus penjelasannya
dengan dalih melakukan pemurnian demokrasi melalui amandemen.

Di samping banyaknya pasal rancu (saling bertentangan, tidak konsisten maupun
tidak berkualifikasi UUD), perombakan yang mereka lakukan telah melahirkan
pembusukan kelembagaan, pengembangan semangat federalisme/liberalisme/
individualisme, dan pendistorsian terhadap demokrasi. Singkatnya mereka telah
melahirkan UUD baru yang mengingkari jiwa dan semangat Pembukaan UUD 1945, dan
dengan demikian mereka telah menghianati cita-cita Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia.

Berbeda dengan Amerika Serikat yang melakukan amandemen melalui addendum dengan
tetap mempertahan-kan UUDnya yang asli, sisa-sisa Orba bersama petualang dan
profiteur itu telah merombak pasal-pasal UUD 1945 secara substantif dan
menghapus penjelasannya, tetapi secara licik tetap mempertahankan nama UUD 1945
dan Pembukaannya, sebagai upaya untuk menyelimuti pengingkarannya. Langkah
tersebut merupakan tahap awal untuk menggantinya dengan UUD baru! Sebagai
akibatnya, ada dua UUD yang memiliki nama dan Pembukaan yang sama, tetapi
berbeda dalam substansinya. Pada saatnya kelak rakyat dan generasi yang akan
datang akan bertanya, yang manakah UUD 1945 yang sesungguhnya?

Apabila jawabnya adalah hasil perombakan yang dilakukan oleh para elite politik
yang berkonspirasi di MPR, maka bangsa Indonesia akan kehilangan dokumen
historis karya besar founding fathers. Namun kalau keduanya diakui sebagai
realitas yang ada, maka akan ada dua UUD 1945, yang satu adalah UUD 1945 yang
asli, sedang yang lainnya adalah UUD 1945 hasil rekayasa para petualang politik
di MPR, yang isi dan jiwanya mengingkari UUD 1945 yang asli beserta
Pembukaannya. Oleh karenanya sudah sepantasnya kalau UUD baru tersebut disebut
sebagai UUD 1945 palsu.

Dengan telah hadirnya UUD baru sebagai akibat dari dirombaknya batang tubuh dan
dihilangkannya Penjelasan UUD 1945, maka Pembukaan UUD 1945 tinggal menjadi
simbol, sama halnya Pancasila tinggal sebagai sebuah nama ketika didistorsi
melalui P4. Namun diyakini bahwa Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila akan tetap
hidup dalam kalbu rakyat serta semua yang tetap setia kepada cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dia akan bergelora kembali, dan setiap bentuk
pengingkaran akan sirna diterjang perjuangan luhur.

PENUTUP
Pembukaan UUD 1945 memberikan acuan yang jelas mulai dari asas pendirian negara
sampai ke dasar dan tatanan penyelenggaraannya. Dalam pelaksanaannya memang akan
sangat dipengaruhi oleh jiwa dan semangat penyelenggaranya. Untuk menghindari
bias-bias yang dapat menimbulkan ketersesatan dalam pelaksanaannya diperlukan
pemahaman yang mendalam, jujur dan sungguh-sungguh. Disamping itu, agar
pemahaman kita benar-benar utuh, maka harus difahami pula makna Pancasila
sebagaimana diuraikan oleh Penggalinya, Bung Karno.
Dari alur pikiran yang kita runut dalam Pembukaan UUD 1945, dapat kita tangkap
bahwa perjuangan bangsa Indonesia adalah sebuah revolusi besar kemanusiaan yang
berangkat dari Tuntutan Budi Nurani Manusia (the Social Conscience of Man), dan
akan dilaksanakan melalui tiga tahapan revolusi, yaitu:
· mencapai Kemerdekaan Penuh, artinya bangsa Indonesia, seperti halnya
bangsa-bangsa lain di dunia, akan berdiri tegak sebagai bangsa yang merdeka dan
berdaulat, berdasarkan tiga prinsip kemerdekaan :
Ø berdaulat di bidang politik;
Ø berdikari di bidang ekonomi;
Ø berkepribadian di bidang kebudayaan.

· melalui gerbang kemerdekaan itu akan dibangun Sosialisme Indonesia di dalam
negara kesatuan yang demokratis, yaitu masyarakat gotong royong yang adil-makmur
material dan spiritual dalam suatu kehidupan bangsa yang beradab;
· untuk menjaga tegaknya Kemerdekaan Penuh dan tetap terselenggaranya Sosialisme
Indonesia, harus dibangun tata kehidupan Dunia Baru yang adil dan beradab
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Masyarakat dunia
yang saling hormat menghormati, dunia baru tanpa ada penindasan bangsa atas
bangsa maupun manusia atas manusia.

Untuk membangun moral serta elan vital revolusioner guna mendukung tercapainya
cita-cita luhur tersebut, harus dilaksanakan pembangunan bangsa dan
kepribadiannya (nation and character building) melalui aksi multi-dimensi oleh
seluruh eksponen bangsa. Pancasila adalah landasan filosofis yang merupakan
dasar dan acuan perjuangan.

Dengan mencermati semakin dalam makna yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945,
semakin terasa betapa luhurnya cita-cita bangsa Indonesia, cita-cita untuk
membangun peradaban bangsa dan umat manusia.
Itulah tujuan dari Revolusi Indonesia.


Jakarta, 17 Agustus 2002


SUPLEMEN

HUKUM-HUKUM REVOLUSI

Apa hukum-hukum Revolusi itu? Hukum-hukum Revolusi itu, kecuali garis-besar
romantika, dinamika, dialektika yang sudah kupaparkan tadi,
pada pokoknya adalah :

Pertama, Revolusi mesti punya kawan dan punya lawan, dan kekuatan-kekuatan
Revolusi harus tahu siapa lawan dan siapa kawan; maka harus ditarik garis
pemisah yang terang dan harus diambil sikap yang tepat terhadap kawan dan
terhadap lawan Revolusi;

Kedua, Revolusi yang benar-benar Revolusi bukanlah “revolusi istana” atau
“revolusi pemimpin”, melainkan Revolusi Rakyat; oleh sebab itu, maka Revolusi
tidak boleh “main atas” saja, tetapi harus dijalankan dari atas dan dari bawah;

Ketiga, Revolusi adalah simfoninya destruksi dan konstruksi, simfoninya
penjebolan dan pembangunan, karena destruksi atau penjebolan saja tanpa
konstruksi atau pembangunan adalah sama dengan anarki, dan sebaliknya;
konstruksi atau pembangunan saja tanpa destruksi atau penjebolan berarti
kompromi, reformisme;

Keempat, Revolusi selalu punya tahap-tahapnya; dalam hal Revolusi kita : tahap
nasional-demokratis dan tahap Sosialis, tahap yang pertama meretas jalan buat
yang kedua, tahap yang pertama harus dirampungkan dulu, tetapi sesudah rampung
harus ditingkatkan kepada tahap yang kedua; - inilah dialektik Revolusi;

Kelima, Revolusi harus punya Program yang jelas dan tepat, seperti dalam Manipol
kita merumuskan dengan jelas dan tepat : (A) Dasar/Tujuan dan
Kewajiban-kewajiban Revolusi Indonesia; (B) Kekuatan-kekuatan Revolusi
Indonesia; (C) Sifat Revolusi Indonesia; (D) Hari-depan Revolusi Indonesia dan
(E) Musuh-musuh Revolusi Indonesia. Dan seluruh kebijaksanaan Revolusi harus
setia kepada Program itu;

Keenam, Revolusi harus punya soko-guru yang tepat dan punya pimpinan yang tepat,
yang berpandangan jauh kemuka, yang konsekwen, yang sanggup melaksanakan
tugas-tugas Revolusi sampai pada akhirnya, dan Revolusi juga harus punya
kader-kadernya yang tepat pengertiannya dan tinggi semangatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar